Fri. Feb 7th, 2025

MENGURAI DAYA BELI

ByWayan Supadno

Oct 14, 2023

Daya beli masyarakat Indonesia dinilai menurun. Saat bersamaan biaya hidup khususnya pangan mengalami kenaikan. Bahkan beras sangat sensitif juga naik antara 20% s/d 31%. Kondisi diagonalis negatif ini akan memberatkan masyarakat sehingga ada program bantuan beras 10 kg/KK kepada 21 juta KK selama 3 bulan.

Sisi lain pemerintah telah menargetkan agar tahun 2024 pendapatan per kapita naik dari Rp 74 juta/tahun ke Rp 86 juta/tahun. Saat ini setara Rp 6,16 juta/bulan. Konsekuensi lagi upah harusnya minimal Rp 6,16 juta/bulan. Faktanya UMR masih banyak yang hanya Rp 2 juta/bulan. Hanya setara 30% an dari rerata nasional.

Lalu siapa penikmat sisanya, itulah dampak rasio gini 0,388. Tentu penikmat sisa selisihnya adalah 2% dari total penduduk Indonesia, kaum The Have. Ini semua sesungguhnya hanyalah akibat saja dari terlalu sedikitnya jumlah pelaku usaha yang hanya 3,46% dan sistem ekonomi liberalis.

Sisi lain lagi, kelompok mana yang terpinggirkan kalah kompetisi dalam persaingan bebas ini. Tentu petani berlahan sempit dan buruh pabrik padat karya yang UMR nya rendah. Merekalah kelompok yang menanggung beban. Karena mereka berpendapatan rendah. Konkretnya petani padi 0,3 ha/KK, laba didapat maksimal Rp 10 juta/KK/tahun.

Hendaknya ini jadi perhatian kita semua. Jika pelaku produsen pangan tidak jadi perhatian serius, maka akan jadi ancaman serius pangan kita di masa depan. Konkretnya kenapa kedelai dan gula impornya makin meroket, tentu karena kesejahteraan petaninya ” tidak didapat ” pada profesi tersebut.

Jika Indonesia diminiaturkan sebuah perusahaan manufaktur. Selama ini kita kurang peduli dengan upaya penerapan manajemen PPIC (production, planning and inventory control). Sehingga ” neraca pangan ” kurang terkendali. Kurang kontrol, bahkan sering kaget dadakan impornya kok makin banyak.

Buktinya beberapa komoditas makin banyak saja jumlah impornya. Misal saja sapi, daging sapi dan kerbau, kedelai, gula dan lainnya impornya bukan makin sedikit, justru makin meroket. Apalagi gandum, dulunya hanya tiada 5% pangsa pasarnya tapi saat ini telah 28% bisa jadi 5 tahun lagi sampai 50% pangsa pasarnya.

Itu semua pertanda kurang kontrol PPIC dan neraca pangan Indonesia. Kurang antisipasi dengan ketatnya. Sehingga siapa pun yang menjabat Menteri Pertanian, mustahil jika bisa swasembada pangan sekaligus waktu bersamaan pada komoditas utama beras, jagung, kedelai, gula dan sapi.

Jika itu semua hanyalah produk akibat saja, lalu apa sebabnya ?

Tentu karena rendah daya dukungnya. Petaninya dominan usia tua dan pendidikan rendah. Luas kepemilikan lahan hanya 0,3 ha/KK ada 14 juta KK (Sensus Pertanian terakhir). Pendek kata, kurang jumlah petani muda inovatif berpendidikan tinggi yang berlahan luas karena logis ekspansi.

Itu semua terjadi karena yang nampak di kelopak mata kawula muda jadi petani itu masa depannya ” tidak jelas “. Miskin. Ini juga hanya akibat saja, dari kebijakan makro nasional arsitektur pembangunan pertanian yang belum menjadikan usaha pangan dianggap peluang usaha/bisnis yang feasible dan bankable.

Solusinya ?

Pemerintah harus memandang kebutuhan pangan di masa depan dengan antisipasi bijak logis. Harus berorientasi pasar dengan pola pikir bisnis. Tidak lama lagi jumlah penduduk 300 juta, semua butuh pangan. Ini harus mutlak diantisipasi siapa pelakunya, berapa banyak jumlahnya dan agar betah butuh berapa luas lahannya, serta bagaimana agar terwujud rasio tersebut.

Mari kita ambil ilmu hikmah dari sawit. Kenapa sangat sulit direm perluasannya, padahal sudah moratorium tapi selama 5 tahun terakhir masih tambah 2,6 juta hektar. Sebabnya karena feasible dan bankable. Akhirnya tanpa APBN/APBD punya petani pada ekspansi. Hendaknya petani pangan juga begitu.

Ideal membangun bangsa minimal 80% dana dari masyarakat dan maksimal 20% dari APBN. Ini mestinya pemerintah ” cipta kondisi ” iklim usaha agar dunia usaha, khususnya pelaku usaha investor terangsang investasi di pangan untuk ekspansi. Karena Indonesia masih kurang 7 juta hektar, jika mau swasembada beras, jagung, kedelai dan gula.

Libatkan swasta, agar menarik dengar apa maunya. Pengusaha atau swasta pencetak sawah (food estate) ala mandiri kredit perbankan, bagaimana kiat skimnya. Tak ubahnya pengembang rumah subsidi type 36/120, kenapa begitu banyak partisipan developernya, tersebar di semua daerah Indonesia ? Karena pantas didanai, bank interest mendanai dan sangat menarik jadi objek bisnis jangka panjang.

Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *