Kemasan banyak sekali wujudnya, begitu juga cara mengemas diri sendiri. Bahkan pikiran, perkataan dan perbuatan juga bisa dijadikan bagian dari kemasan dirinya sendiri. Itu saya dengar dari “Orang Tua Renta ” lusuh tapi jiwanya telah matang. Terlihat jelas dari bijaknya.
Gurat – gurat pada kulit wajah, leher maupun lengannya yang nampak menua sebagai ” tanda jasa ” telah puluhan tahun menjalani kehidupan ini. Tahu asam garamnya kehidupan ini. Tidak mudah heran apapun yang dipandang, sekalipun di depannya ada orang – orang terpandang.
Orang Tua Renta tersebut adalah Guru Malamku, saat remaja. Kerap kali saya kunjungi mulai SMP hingga sekarang. Tanpa pendidikan formal teramat tinggi. Tapi saya pastikan ilmu dan pengalamannya sangat tinggi dan mumpuni. Karena ada beberapa yang juga berguru malam kepadanya.
Ajarannya selalu agar bersyukur, mawas diri, tahu diri dan pengembangan diri. Memberdayakan diri. Ngulir pambudi, bahasa Jawa nya. Kitabnya alam semesta ini dikaji, bahan ngaji tiap hari. Memaknai dan menjabarkan hidup ini agar migunani, berguna bermanfaat untuk yang di atas bumi ini.
1. Pikiran.
Pikiran yang mengemas diri. Beliau mengartikan sebagai perwakilan dari isi hati yang sesungguhnya. Isi hati yang menjelma dari pola pikir yang ukurannya. Isi hati yang nuansanya ” penuh kemasan “. Pola pikirnya agar terkesan baik dan pintar. Padahal itu hanya kemasan saja.
2. Perkataan.
Perkataan juga bisa jadi sarana kemasan belaka. Sama juga wakil dari isi hati yang sesungguhnya. Kadang agar terkesan agamis, santun, baik, pintar dan lainnya. Bahkan agar ucapannya tidak terkesan sombong, padahal itulah sikap sombong sesungguhnya.
3. Perbuatan.
Perbuatan paling sering dijadikan kemasan diri seseorang. Nampak jelas mewakili isi hati sesungguhnya, jika jeli. Perbuatannya jadi kemasan isi hatinya yang tidak selaras dengan hati. Perbuatan yang kurang bijak tanpa kesadaran memaksa orang lain di sekitarnya tahu persis, ternyata itu hanya kemasan diri belaka.
Ujar Guru Malamku tersebut, kemasan diri yang paling sulit dideteksi. Justru jika diri sendiri dikemas dengan narasi nuansa budi pekerti, budi luhur, ajaran agama dan kalimat baik lainnya. Ini paling berpotensi dijadikan kemasan jika hati iri dengki. Teramat berbahaya.
Begitu juga sebaliknya, bahasa verbal maupun gestur bahasa tubuh. Ucapan dan bahasa tubuh sesungguhnya jauh lebih tajam dari sebilah pedang sekalipun. Semuanya akan mewakili isi hati sesungguhnya. Hanya masalah waktu dan kesempatan saja, akan nampak sesuai misi isi hati sesungguhnya.
Saya ingat persis pesan Guru Malamku tersebut, penutupnya sangat membekas dalam ingatanku. Bahasa Jawanya ” Jalmo tan keno kiniro/Manusia tidak boleh menebak masa depan orang lain, itu ranah Tuhan. Jangan mendahului kehendak-Nya. Itu pantangan teramat fatal “.
Solusinya. Hidup cukup lahir bathin apa adanya saja. Antara hati selaras dengan pikiran, perkataan dan perbuatan. Jika tidak mau, itu akan jadi gesang kawirangan/hidup yang diselimuti rasa malu berlebihan jangka panjang jadi sesal lekat hingga di ujung hayat.
Terima kasih Guru Malamku yang teramat kuhormati, ilmunya terasa bermanfaat justru usia ini mulai senja.
Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630