Tue. Jun 24th, 2025

Wayan Supadno

Air mataku menetes tak terbendung setelah kejadian 2 kali tamuku datang ke rumah Cibubur, beberapa tahun silam. Memang saat ada tamu tersebut saya tidak menangis. Karena saya tahan, saya alihkan pembicaraan. Agar tidak tersinggung. Menjaga etika saja.

Sempat saya rekam dan video kejadian tersebut. Tapi tidak saya nampakkan semua. Walaupun yang bersangkutan mengijinkan. Tapi saya menjaga nama besar kampus top dekat rumahku Cibubur. Saya tidak mau kontra produktif bagi anak muda.

Rekaman parsial tersebut sempat saya share beberapa kali di Group Gemar Bertani. Yang membernya 660 orang. Lebih dari 17 orang rektor, 43 profesor dan 200 orang Doktor/PhD. Saya tahu persis karena saya adminnya. Kami bahas intensif bahan mawas diri.

Karena di mata saya pendidikan hal sangat penting, baik formal apalagi informal. Karena itulah jalan pintas mengubah nasib seseorang di masa depannya. Tak ubahnya saya alumni Unair Surabaya. Anak saya 2 orang alumni S2 dan 1 orang sedang proses S2 di Univ. Melbourne Australia.

Karena sejak kecil saya menekankan agar berprinsip bahwa membekali diri dengan iptek yang dipraktikkan berulang kali hingga refleks jadi skill. Adalah tanggung jawab perorangan. Bukan tanggung jawab orang tua. Agar terlahir kesadaran mau belajar dan latihan mandiri.

Harus merasa tabu dan gengsi berharap warisan harta berlebihan. Puji syukur, mereka bertiga sudah punya usaha agro mandiri dan mengkaryakan beberapa orang. Sehingga walaupun 2 orang belum nikah, sudah bukan beban orang tua lagi.

Berikut ini kisahnya, bisa diambil ilmu hikmahnya buat anak muda, lalu berbuat beda ;

1). Tamu Alumni S3

Ada 3 kali 3 orang tersebut bertamu di rumah Cibubur. Saya sambut dengan senang hati. Karena niatnya mau jadi pengusaha, saya diminta jadi mentornya. Saya sanggupi. Mereka datang karena membaca majalah SWA dan videonya Mas Rio Erlangga.

Kebetulan Mas Rio mengaku saya mentornya dari nol 8 tahun silam, saat ini valuasi bisnisnya ratusan miliar. Karyawannya banyak dan ribuan petani plasmanya. Ada di Google Majalah SWA dan banyak videonya. Bisa anak muda lihat sendiri. Mantan karyawan PMA.

Sayangnya, tamu 3 orang tersebut kunjungan ke 3 kalinya. Pamit mau jadi TKI saja di Australia. Memetik buah, gajinya bisa Rp 50 juta/bulan. Dari pada di Indonesia. Saya diam. Padahal jika sudah lewat masa adaptasi jadi pebisnis mencari Rp 50 juta/bulan di Indonesia, tidak sulit.

2). Tamu Alumni S2.

Ini beda lagi, walaupun satu almamater. Datang berulang kali sekitar 11 kali. Ke rumah Cibubur juga. Inginnya juga menganggap saya jadi mentor bisnisnya. Kunjungan yang ke 11, sekitar 2,5 tahun kami mengenal. Saya tanya usaha apa sedang dijalani. Belum ada, jawabnya.

Rasanya saya seperti disambar petir saja. Kaget. Kecewa. Marah sekali. Cuma tanpa banyak bicara, hanya menahan diri. Pantesan selama ini bawa ” buku catatan dan rekaman ” saja. Semua arahan saya dicatat dan direkam. Setelah saya desak untuk apa, kata mereka mau jadi konsultan.

Makin saya desak lagi, kenapa selama ini tidak langsung eksekusi mulai bisnis apapun yang bisa dilakukan dengan keterbatasan. Jawabnya, takut gagal. Saya jawab, memangnya kalau seperti ini terus bukan gagal namanya. Mereka diam. Merah muka keduanya.

Lalu saya cipta kondisi dengan sikap kurang welcome agar mawas diri. Agar menghargai waktu dan kesempatan. Agar tahu kalau saya paling tidak suka cipta limbah waktu. Lalu mereka pulang. Ilmu hikmahnya, motivator paling top adalah diri sendiri !

Tanpa dimulai praktik bisnis, maka mustahil jadi praktisi bisnis atau pebisnis atau pengusaha/entrepreneur. Apapun latar belakang pendidikan formalnya. Jumlah modal harta awal bisnis, bukan jaminan suksesnya akan sampai duluan untuk bisa cipta lapangan kerja 100 orang, misalnya.

Salam Bangkit 🇮🇩
Wayan Supadno
Praktisi Agribisnis
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *