Tahun 1980 an, Malaysia, Thailand dan Vietnam para pemudanya banyak yang ditugaskan untuk belajar pada kampus – kampus tersebar di Indonesia. Tentu saat ini mereka banyak yang jadi ilmuwan, pengusaha dan pejabat pemerintahan.
Yang jadi pejabat di Malaysia tentu pembuat kebijakan makronya, termasuk kebijakan sawit – migor nya. Hebatnya mantan murid kita bisa cipta kondisi harga CPO setinggi mungkin. Saat ini Rp 21.000/kg CPO, setara TBS Rp 5.000/kg. Agar dapat devisa besar dan petani sejahtera.
Namun demikian, harga migor untuk kaum tidak mampu dalam kemasan sederhana bukan curah dengan harga Rp 14.000/liter. Tapi harga migor bisnis dibebaskan agar dunia usaha bergairah, bagi yang kaya harga migor Rp 29.000/liter bukan masalah lagi. Agar pajak untuk APBN makin besar.
Perbedaan mendasar masyarakat Malaysia dan Indonesia hal sawit. Di Malaysia, sawit jadi kebanggaan semua masyarakat tanpa kecuali bahkan sopir taksi saja ikut bangga kadang terasa berlebihan kalau cerita hal sawit Malaysia. Harga TBS di Petani Malaysia Rp 5.100/kg, tanggal 24/5/2022.
Di Indonesia, dulu jadi objek kampanye hitam, mau ikut – ikutan lawannya yaitu negara produsen bunga matahari, kedelai dan lainnya. Bahkan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan (KLHK) kebun sawit sudah SHM pun dianggap kawasan kehutanan. Harga TBS di Petani Indonesia Rp 1.500/kg, tanggal 24/5/2022.
Itulah sebabnya pengusaha Malaysia betah. Berdampak penambahan jumlah pengusaha tinggi, hingga saat ini jumlah pengusahanya 5,6%. Di Indonesia baru 3,41% dari total penduduknya (Kemen UMKM). Padahal penyerap pengangguran, pembayar pajak untuk APBN dan peran lainnya.
Bagaimana dengan Thailand dan Vietnam ?
Kedua negara ini sama dulu belajar ke Indonesia. Secara spesifik Thailand banyak belajar hal koperasi dan strategi tata kelola kedaulatan pangan. Maklum jaman 1984 Indonesia memang menyilaukan semua negara di dunia. Karena mampu ekspor beras, sapi dan lainnya. Bukan hanya swasembada.
Saat ini, apakah tiada barang impor di Thailand dan Vietnam. Ada. Tapi harus dijual mahal. Pemerintah yang mengaturnya. Pajak impor tinggi. Agar tidak bisa bersaing dengan hasil petani. Barang impor jadi kalah. Sebaliknya produk petani menang bersaing. Meluber lalu diekspor dengan pajak rendah agar menang bersaing di pasar global.
Wajar juga jika Thailand dan Vietnam jumlah pengusahanya jauh di atas Indonesia. Karena pengusaha yang ada dibuat betah dengan selalu berusaha membangun iklim usaha. Misal saja suku bunga utang bank pertanian hanya 1,5%/tahun, jalan pedesaan diperhatikan, tata niaga berpihak ke petani dan lainnya.
Lanjutannya terlahir pengusaha muda baru jauh lebih banyak lagi. Efek dominonya, hasil riset terserap, produk dalam negeri jadi tuan di negerinya, bahkan negaranya harum karena sebagai lumbung pangan dunia. Bahkan Vietnam terkenal sebagai Pusat Riset dan Inovasi. Eksportir beras terbesar kedua di dunia saat ini. Sekaligus negara tempat investasi utama.
Saatnya, kita mengawali mengenali diri sendiri dan negara tetangga. Diskusi dengan hati, ibaratnya sambil bercermin sekaligus berdiri di atas timbangan agar makin tahu diri. Lalu berbenah diri. Mereka ilmunya dipraktekkan, bukan sekedar dihafal belaka. Karena kita cinta Indonesia, itu alternatif solusinya. Bukan rebutan bansos subsidi lagi.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

