Ternyata masih banyak masyarakat belum paham bahwa ada bedanya antara pungutan ekspor dan pajak ekspor (bea keluar). Yang dihapus oleh pemerintah adalah ” pungutan ekspor ” oleh BPDPKS sebesar US $ 200/ton. Pajak ekspor (bea keluar) US $ 288/ton masih ” tetap berlaku ” hingga sekarang.
Pungutan ekspor yang dihapus US $ 200/ton CPO setara Rp 3 juta/ton CPO atau Rp 3.000/kg CPO. Itu setara dengan Rp 600/kg TBS, jika rendemen lazim 20%. Logikanya harga TBS naik Rp 600/kg, misal dari Rp 1.000/kg naik jadi Rp 1.600/kg TBS. Sekalipun masih di bawah biaya produksi Rp 1.800/kg TBS.
Tapi fakta di lapangan hanya naik Rp 50/kg bahkan banyak pabrik (PKS) tutup. Kondisi ini menandakan proses pengosongan tangki yang penuh 7,2 juta ton (Gapki) tidak berjalan normal. Ekspornya terhambat serius. Akibat masih berlakunya DMO dan DPO yang jadi sebab sulit mencari kapal untuk ekspor.
Selain itu, bisa jadi Indonesia kehilangan sebagian pembeli CPO di luar negeri. Karena bagi industri skala besar sekitar 3 juta ton/bulan. Mutlak harus konsisten, kontinu, ketepatan dan kapasitas pasoknya. Jika ini gagal, dampaknya industri mereka tutup, rugi besar. Pelanggan mereka kabur juga. Itulah rantai pasok global.
Dampak di hulu juga kompleks. Pemda, PKS, petani dan perbankan saling menyalahkan jika harga TBS tidak sesuai harapan, apalagi jika PKS tutup. Termasuk suami istri juga bisa bertengkar karena tiada pendapatan saat pengeluaran rutin tetap berjalan. Masalah ini juga berdampak makin rendah daya beli masyarakat sentra sawit. Risiko.
Rencana pemerintah mau membangun pabrik minyak makan merah (M3), ide gagasan ini sangat bagus solutif parsial. Alasannya bahan baku dari masyarakat dan produknya juga untuk masyarakat setempat. Tanpa ongkir bolak balik. Bahkan mutu jauh lebih baik karena kadar ” Beta Karoten Pro Vit A ” masih tinggi. Solutif pengurangan angka stunting. Dengan biaya jauh lebih murah.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

