Banyak pihak mengatakan bahwa salah satu sebab utama kenapa hasil penelitian di Indonesia 90% lebih hanya tersimpan numpuk di lemari. Belum terhilirisasikan/terkomersilkan jadi inovasi. Masih jadi invensi saja. Itu semua akibat dari minimnya jumlah pebisnis sebagai off taker (pemasar) hasil penelitian agar jadi inovasi.
Karena antara peneliti dan pebisnis sangat erat korelasinya. Peneliti tanpa pebisnis maka hasil penelitian (invensi) nya kurang bermakna manfaatnya. Hanya tetap jadi invensi di lemari, belum jadi inovasi. Sebaliknya pebisnis tanpa peneliti yang menghasilkan inovasi akan tidak kompetitif dan mati usahanya. Karena hanya dengan inovatif maka akan kompetitif.
Contoh konkretnya ;
1). Teknologi Pangan.
Indomie berbahan baku gandum. Beredar laku keras di banyak benua, mengagumkan dunia. Negara penghasil gandum saja heran. Karena ada inovasi membumi. Hasil penelitian para peneliti Indonesia jadi mie instan yang mendunia. Bisa menguasai pasar global karena pebisnis yang memproduksi massal dan memasarkannya. Bisa berubah dari gandum jadi Indomie karena peran peneliti.
2). Inovasi Benih.
Pepaya California kecil tapi sangat manis dan marketable yang beredar luas di masyarakat karya para peneliti di Kampus IPB University Bogor. Bisa jadi massal tersebar berkat kinerja peran para pebisnis agro. Sawit Tenera hasil silangan Dura dan Pisifera bisa 8 ton CPO/ha/tahun bisa jadi jutaan ton/tahun. Padahal jika Dura hanya 2,5 ton CPO/ha/tahun berkat sinergisnya peneliti dan pebisnis.
3). Bahan Bakar Nabati.
CPO (minyak mentah sawit) asam tinggi dulu harganya sangat murah, sekarang jadi sebaliknya karena bisa jadi Biodesel. Hingga puluhan juta ton/tahun lalu daya serap sawit menggila akhirnya harga TBS di petani jadi terdongkrak mahal. Berkat inovasi Prof Subagiyo, Dr Tatang dkk di ITB. Bisa massal karena ada pebisnis sebagai investornya. Bukti peneliti dan pebisnis saling membutuhkan.
4). Mekanisasi Industri.
Tidak perlu lagi butuh anggaran Rp 250 juta/ 10.000 ton muat sawit karena manual, cukup hanya Rp 70 juta/10.000 ton karena ada Mesin Loader. Sensus tanaman juga tidak perlu 30 orang biaya mahal dan lama karena ada Drone hanya 3 jam saja kelar. Tidak perlu banyak pekerja upah mahal tukang demo, kalau ada Robotik tanpa lelah 24 jam dan cepat. Itu berkat inovasinya peneliti, dikomersilkan oleh pebisnis.
Ilmu hikmahnya bahwa betapa sangat pentingnya melahirkan peneliti sebagai inovator sekaligus paralel melahirkan pebisnis/pengusaha (entrepreneur) sebagai investor yang memasarkan hasil – hasil penelitian tersebut. Kalau Indonesia hanya banyak melahirkan para peneliti saja, maka tiada yang memasarkan (off taker) nya hasil inovasinya. Jadilah jalan di tempat.
Artinya bahwa kedua profesi tersebut selalu jadi tumpuan utama pembangunan di banyak negara yang bisa melompat dari negara perkembang jadi negara maju. Konkretnya Korea Selatan dengan Samsung dan Hyundai. Bisa mendunia karena ada banyak inovator/peneliti dan investor/pengusahnya. Inilah motor utama ekonomi sebuah bangsa yang maju karena dapat nilai tambah besar.
Dengan begitu jika peneliti dan pebisnis sama diprioritaskan proses hasil didiknya. Maka akan dengan sangat mudahnya mendongkrak pendapatan per kapita yang disyaratkan sebagai negara maju minimal USD 13.800. Kita di Indonesia masih sekitar USD 5.000, ini sebabnya karena jumlah entrepreneurnya hanya 3,47% jauh dari syarat minimal 5%. Contoh Singapura negara maju 7,86% jumlah entrepreneurnya.
Itulah sebabnya pemerintah mengajak melahirkan banyak pengusaha/praktisi bisnis/entrepreneur. Agar ada yang menyerap hasil penelitian para peneliti. Agar jadi daya dorong meningkatkan pendapatan per kapita. Agar ada investasi oleh pengusaha, sehingga menyerap pengangguran, meningkatkan daya beli masyarakat dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi 8% supaya terwujud Indonesia jadi negara maju.
Salam Inovasi š®š©
Wayan Supadno
Pebisnis/Peneliti
HP 081586580630