Presiden Jokowi berulang kali menegaskan agar jajarannya tidak suka impor dan juga tidak ekspor bahan mentah. Karena banyak negara jalan di tempat hanya karena ekspor bahan mentah.
Maksud tujuan tidak ekspor bahan mentah, hilirisasi industri, untuk cipta lapangan kerja dan nilai tambah yang 20 kali lipatnya. Tidak dinikmati negara lain. Misal CPO, timah, nikel, bauksit, tembaga, silika dan lainya.
Maksud tujuan tidak mudah impor agar memberi kesempatan rakyat Indonesia berkarya, dapat nilai tambah. Bukan justru menyejahterakan rakyat negara lain, dengan cara kita jadi pasar produk mereka.
Strategi di atas sangat menyejukkan rakyat Indonesia. Walaupun banyak juga pejabat kebijakannya yang masih gemar ekspor bahan mentah dan setelah jadi barang olahan kita impor, merusak ” iklim usaha dari tata niaga ” kita. Utamanya pada sektor pangan. Sangat merugikan.
Contoh ;
1. Indonesia produsen bungkil sawit limbah pabrik kelapa sawit (PKS) terbanyak di dunia. Sekitar 7 juta ton/tahun. Karena rendemennya 3% dari total TBS 240 juta ton/tahun. Bungkil sawit bahan baku industri pakan ternak di banyak negara penghasil daging sapi dan susu.
Karena mutunya super duper hasil uji proksimatnya. Kadar protein kasar 21%, serat kasar 19% dan lemak kasar 8% sesuai SNI. Selama ini jutaan ton diekspor utamanya Selandia Baru dan Australia. Dampaknya jadi rebutan dengan peternak Indonesia lalu mahal.
Karena bungkil sawit mahal, padahal bahan pakan ternak utama Indonesia. Dampaknya harga jual sapi juga tinggi ikutan mahal. Lalu pangan protein tinggi juga mahal. Bisa berdampak pangan mahal, peternak demotivasi dan stunting ” sulit diatasi ” yang saat ini 24,4%.
Ironisnya, setelah jadi susu di Selandia Baru dan sapi di Australia kita impor besar – besaran. Susu impor 78% dari total kebutuhan nasional. Sapi dan daging impor setara sapi hidup 1,5 juta ekor/tahun. Nilai tambah bungkil sawit dinikmati luar negeri. Kita membesarkan usaha mereka.
2. Kelapa miliaran butir kita ekspor wujud gelondongan hingga di RRC pabrik pengolah kelapa menjamur. Padahal RRC tanpa punya kebun kelapa total tergantung dari Indonesia. Bahkan nilai ekspor kelapa kita kalah dengan Filipina sekalipun kelapa kita terluas di dunia 3,1 juta hektar.
Ironisnya, setelah berupa barang jadi. Juga kita impor lagi jumlah sangat besar utamanya untuk pabrik pangan roti misalnya. Artinya kelapa kita yang terluas di dunia, nilai tambahnya juga dinikmati negara lain. Karena suka ekspor bahan mentah dan impor bahan jadi.
Sesungguhnya masih sangat banyak sektor pertanian pangan yang prosesnya ” lucu ” seperti bungkil sawit dan kelapa di atas. Misal karet, kopi dan lainnya. Sungguh inilah ” peluang emas ” Indonesia jika mau konsisten hilirisasi industri agar ada lompatan besar Indonesia jadi negara terkuat di dunia.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630