Mon. Jun 30th, 2025

Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia merilis indeks inovasi global tahun 2022. Swiss peringkat 1, diikuti Amerika Serikat. Indonesia peringkat 75 dari 132 negara. Ada peningkatan dari peringkat 87 tahun 2021. Kita syukuri saja.

Sebagai pembandingnya sesama negara yang merdeka tahun 1945. Korea Selatan peringkat ke 6. RRC peringkat ke 11. India peringkat ke 40. Vietnam peringkat ke 48. Dari data di atas kita tahu, di mana posisi Indonesia.

Inovasi adalah hasil riset (invensi) yang telah terkomersialisasikan. Falsafah tentang betapa sangat pentingnya arti sebuah inovasi bunyinya ” Inovasi atau mati, karena kalah berkompetisi “.

Untuk membangun optimisme berbangsa agar kita terus melakukan penelitian (riset) dapat invensi. Lalu diserap oleh praktisi sebagai profesi yang menghilirisasikan invensi ke pasar jadi inovasi yang bermanfaat karena solutif.

Berikut ini ilmu hikmahnya ;

1. Padi.

Tahun 1970-an, produktivitasnya hanya 2,5 ton/ha. Saat ini rerata nasional 5,2 ton/ha (BPS). Naik 2 kali lipatnya. Itu contoh karena inovasi, dahsyat. Sekalipun masih kalah dengan Vietnam 5,9 ton/ha. Mantan murid kita.

Padi kita rerata 5,2 ton/ha, padahal ada yang 9 ton/ha, berarti banyak yang 4 ton/ha. Inilah pangkal masalahnya, hasil riset belum membumi massal meluas. Apalagi Rektor IPB University mengklaim varietasnya bisa 12 ton/ha.

Andaikan benih IPB University membumi, bisa naik dari 5,2 ton/ha jadi 8 ton/ha. Tidak usah sampai 12 ton/ha. Maka produksi nasional 8 ton/ha x 11 juta ha luas tanam = 88 juta ton/tahun. Setara 48 juta ton beras. Saat ini hanya 31 juta ton/tahun (BPS).

2. Sawit.

Tahun 1970-an, hanya Dura. TBS nya 16 ton, rendemen 18% artinya dapat CPO hanya 16 ton x 18% = 2,8 ton CPO/ha/tahun. Saat ini berkat inovasi benih Tenera persilangan Dura dengan Pisifera (DxP) bisa rerata 3,6 ton CPO/ha/tahun (BPS).

Saat ini PPKS Medan merilis benih DxP PPKS 540 potensi CPO 9,6 ton/ha/tahun. Jika ini membumi, lalu naik dari rerata 3,6 ton/ha saat ini jadi 7 ton/ha jadilah Indonesia penghasil CPO 7 ton/ha x 16,38 juta ha = 115 juta ton CPO/tahun. Dahsyat berkat inovasi.

Bukan hanya 46 juta ton CPO/tahun seperti selama ini. Kendalanya kurang hilirisasi ke praktisi, utamanya petani kecil massal yang masih banyak memakai benih sawit asalan ilegal (leles). Implikasinya jika biaya tetap, tapi produksi naik, maka harga pokok produksi (HPP) rendah. Petani sejahtera.

3. Peternakan.

Di UGM Yogyakarta merilis hijauan pakan ternak namanya ” Gama Umami “. Biomassanya 700 ton/ha/tahun dengan kadar protein kasar 16%. Padahal rumput alam hanya 3%, rumput gajah biasa hanya 5% dengan biomassa maksimal 150 ton/ha/tahun.

Artinya jika mau mengejar kadar protein tinggi dan biomassa jumlah banyak. Bisa menghemat lahan berkali lipatnya dengan Gama Umami setara dengan 6 ha rumput gajah biasa. Dampaknya HPP rendah, laba tambah, sejahtera dan peternak betah.

Kalkulasinya biaya yang timbul akan rendah, tapi akan sekaligus menghasilkan volume biomassa berkali lipatnya. Dalam luas sama dan waktu sama. Apalagi jika ditanam di samping palungan tanpa ongkos kirim makin murah biaya produksi peternak kita. Empiris. Solutif konkret.

Apalagi UGM juga sedang mengembangkan ” Sapi Gama “, anaknya kecil tapi percepatan besarnya (ADG) tinggi. Mutunya super seperti wagyu. Ini yang ditunggu – tunggu oleh peternak. Hasil riset sesuai agroklimat tropis dengan produktivitas tinggi, berbiaya rendah.

Besar harapan saya selaku petani peternak praktisi, agar para peneliti makin gigih meneliti yang marketable. Pemerintah mendorongnya dengan ide beda dari sebelumnya. Terpenting, terima kasih kepada yang terhormat para Insan Peneliti, karyamu sangat berarti bagi kami praktisi.

Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *