Empiris…
Transmigrasi, prinsipnya memindahkan penduduk secara massal tapi selektif. Dari daerah padat ke daerah yang berpenduduk jarang. Maksud tujuannya agar terjadi pemerataan jumlah penduduk, pembangunan, optimalisasi pemberdayaan kekayaan alam dan tujuan lainnya. Semua mulia adanya.
Sering kita lupa amanah pada syair Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ” Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, Untuk Indonesia Raya “. Artinya esensi pembangunan Indonesia letaknya pada manusianya. Tiada arti apapun kita punya kekayaan alam berlimpah jika kita tidak mampu mengelolanya, justru bisa jadi bumerang.
Agar kita jadi manusia yang mampu mengelola segala macam kekayaan alam yang berlimpah anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dibutuhkan pembangunan manusianya secara intensif, terukur, sinergis dan terpola akselerasi budayanya. Salah satu program yang ideal adalah transmigrasi. Ini terbukti efektif mengubah kawasan tertinggal jadi maju.
Berikut pengalaman saya pribadi sebagai bagian dari keluarga besar transmigrasi sejak jaman penjajahan Belanda. Yang pasti banyak ilmu hikmah bisa diambil untuk bekal berpikir nuansa ekonometrika, data fakta empirik jadi panduan, untuk dasar mengantisipasi dan memprediksi apa yang akan terjadi. Sehingga langkah kebijakannya tepat karena referensi data fakta empirik lapangan.
Tahun 1921, Kakek Nenek saya dikisahkan bagian dari pengikut Transmigrasi lokal dari Wates Kulon Progo DIY ke Banyuwangi Selatan. Program yang digagas oleh Belanda. Sehingga tidak perlu heran jika Desa Grajagan Purwoharjo Banyuwangi dan beberapa kecamatan sekitarnya tertata dengan apiknya. Jalan dan irigasi nampak dibangun dengan matang terencana.
Saya ingat persis tahun 1980 an, jadi lumbung pangan. Padi, Jagung, kedelai dan lainnya dengan ternak sapi kerbau jumlah ribuan ekor. Walau sekarang telah berubah, sawah tidak lagi indeks kepemilikannya 3 hektar/keluarga, melainkan hanya 0,3 hektar/keluarga karena bagi warisan. Jaman Kakek saya 3 hektar/keluarga, jaman Ayah saya 1 hektar/keluarga dan jaman sekarang hanya 0,3 hektar/keluarga.
Fakta kepemilikan sawah hanya 0,3 hektar/keluarga tersebut. Jika ditanam padi semusim paling dapat 2 ton GKP setara omzet Rp 12 juta/musim, lalu ditanam jagung juga dapat 2 ton setara Rp 12 juta/musim dan kedelai hanya dapat 600 kg saja setara Rp 10 juta/musim. Total omzet Rp 30 juta/tahun dan laba Rp 12 juta/tahun, untuk sekeluarga 5 orang. Jauh dari sejahtera.
Karena permintaan sawah makin tinggi sehingga membentuk harga sawah makin tidak logis lagi, harga saat ini sekitar Rp 2 miliar/hektar. Jika dikaji dengan kalkulasi agribisnis maka jika ditanam padi, jagung dan kedelai butuh ratusan tahun agar kembali modal investasi (ROI) sawahnya. Tidak heran jika sawah berubah jadi buah naga, jeruk, jambu dan lainnya. Agar lebih feasible.
Tahun 1995, saya pangkat Letda dinas militer di Rindam I/BB Pematang Siantar Sumut. Seusai dilantik di Magelang. Orang Tua saya transmigrasi swakarsa mandiri ke Sulteng. Saya pindahkan ke Kandis Riau. Beli kaplingan peserta Transmigrasi yang tidak betah. Dapat 0,5 hektar rumah dan pekarangan tanaman pangan serta 2 hektar kebun sawit buah pasir tapi hutang bank. Harga Rp 3,8 juta untuk semuanya.
Saya ingat persis multi suku agama dan ras. Pada jadi satu. Masyarakat lokal Melayu Riau menyambut dengan ” luar biasa sangat baiknya ” . Mereka pada bahagia menyambut saudara – saudaranya transmigrasi pada berdatangan. Walaupun kondisinya sangat bersahaja. Seakan merajut masa depan lebih harmonis dan sinergis membangun negeri ini.
Saat ini, di Kandis Riau dan sekitarnya tersebut, pada makmur sejahtera semuanya. Putra putrinya pada banyak jadi sarjana, pasar tumbuh bagai kota baru saja, multi profesi jadi satu lokasi, walaupun tumpuan awal sawit dan tanaman pangan serta ternak sapi domba. Mimpi indah kami tahun 1995 telah jadi kenyataan. Masyarakat pendatang dan masyarakat asli tempatan bersatu padu. Membahagiakan.
Saat ini saya masih melihat di Kalimantan. Banyak lokasi hamparan puluhan ribu hektar lahan bekas pembalakan liar tahun 1990 an, non produktif. Karena memang terlalu luas. Satu desa hanya 112 keluarga tapi luas wilayahnya 23.000 hektar. Mustahil bisa dikerjakan semua. Ilmu hikmahnya, ini butuh penambahan penduduk utamanya dari daerah padat yang punya skill agar berkolaborasi positif membangun daerah tersebut.
Butuh sikap bijak tegas Pemerintah Pusat dan Daerah, untuk menyikapi ini. Transmigrasi solusinya. Sekali lagi, Ingat amanah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ” Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, Untuk Indonesia Raya “. Hanya manusia hebat yang bisa mewujudkan Indonesia bisa jadi hebat. Kekayaan alam kaya raya terbentang luas hanyalah pendukung saja sifatnya, akan bermanfaat jika kita kelola dengan benar.
Kisah saya di atas, apa adanya dan benar. Untuk mewujudkan pangan berdaulat, dibutuhkan lahan luas memadai. Ingat bahwa untuk menanam padi, jagung dan kedelai luas 0,3 hektar/keluarga. Secanggih apapun teknologinya mustahil bisa sejahtera, apalagi jika menuntut Indonesia maju harus pendapatan per kapita USD 13.800 atau Rp 18 juta/bulan. Cetak sawah dan Transmigrasi solusinya.
Salam š®š©
Wayan Supadno
Anggota Dewan Cendekiawan Masyarakat Transmigrasi
HP 081586580630