Sun. Feb 2nd, 2025

Kementerian perindustrian mengatakan kapal tidak langka jika mau ekspor minyak sawit. GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) mengatakan jumlah ekspor Mei, Juni dan Juli hanya 2,5 juta ton. Itulah sebabnya stok menumpuk hingga 7,2 juta ton.

Lazimnya jika 3 bulan sekitar 9 juta ton. Atau 3 juta ton/bulan. Kalau hanya 2,5 juta ton/3 bulan. Tentu ada yang didahulukan hasil panen kebun Inti milik swasta besar. Bukan kebun plasma milik rakyat. Apalagi kebun petani mandiri, wajar kalau dampaknya PKS banyak tutup.

Mendag Zulhas mengatakan tidak ada alasan harga sawit petani harus di atas Rp 2.400/kg. Karena ” pungutan ekspor US $ 200/ton sudah dihapus “. Faktanya harga di puluhan pabrik kelapa sawit (PKS) di Prov. Babel, Kalbar dan Kalteng hanya Rp 1.100/kg.

Padahal logikanya pungutan ekspor US $ 200/ton setara Rp 3 juta/ton setara Rp 3.000/kg CPO dan setara dengan TBS Rp 600/kg jika rendemen 20%. Artinya jika seminggu lalu harga hanya Rp 1.050/kg mestinya jadi Rp 1.650/kg. Bukan hanya Rp 1.100/kg seperti saat ini. Ehm !

Apalagi harga CPO Rp 9.000 logikanya harga TBS Rp 2.000 an/kg jika rendemen 20% an. Fakta lagi makin banyak PKS tutup berimbas makin luas kebun petani tidak terpanen. Ditambah jika harga Rp 600/kg masih banyak kebun petani tidak dipanen.

Siapa yang diuntungkan keadaan hanya bisa ekspor 2,5 juta ton padahal harusnya 9 juta ton selama 3 bulan ini dan harga TBS petani hanya Rp 1.100/kg ?

Tentu kebun Inti milik swasta besar, bukan kebun plasma. Kebun Inti punya PKS dan pabrik migor. Karena di pasar global harga migor Rp 35.000/liter. Harga migor premium domestik Rp 23.000/liter.

Wislah, enaaak tenaaaan “, kata orang Jawa.

Apalagi kalau harga TBS hanya Rp 1.100/kg setara CPO Rp 5.500 saja. Modal jadi migor total hanya Rp 10.000/liter. Seperti saat ini. Tinggal dikalikan saja berapa labanya, lalu dibagi ke pemilik saham moral atau materialnya dalam usaha tersebut.

Ini maaah, Guriiih. Atuh.

Itu di atas tadi secuil dari rantai pasok industri sawit. Bagaimana dengan nikel dan batu bara serta pulp bahan baku hutan tanaman industri (HTI) luas jutaan hektar ?

Tentu juga akan ketemu jika diaudit. Misal saat pelarangan ekspor batu bara tapi tetap ekspor. Misal rasio kontribusi pajak ekspor (bea keluar) maupun perizinan penguasaan lahan serta asal usulnya penguasaan lahan tambang dan HTI nya.

Ah…

Itu kelas Kakap banget, tapi lebih mudah auditnya kalau memang mau. Tidak melibatkan jutaan kepala keluarga seperti petani sawit saat ini lagi merana. Jika PKS makin banyak yang tutup, makin luas kebun petani tidak terpanen. Sama artinya ibarat naik mobil di tikungan tajam turunan dekat jurang. Hanya masalah waktu saja.

Cara mengatasinya, audit yang mempersulit ekspor. Diberantas. Misal banyaknya aturan yang sering dikeluhkan Presiden Jokowi, DMO DPO FO US $ 100, BK US $ 288. Sementara waktu dicabut dulu beban berat sulit tersebut agar bisa ekspor 6 juta ton Agustus ini. Lalu stok kosong.

Dampaknya PKS bisa buka dan menyerap TBS petani jutaan KK yang butuh hidup sehat terbebas dari ancaman resesi. Volume ekspor besar jadi devisa cadangan untuk impor pangan dan pupuk kita. Keresahan masyarakat tiada. Kepercayaan rakyat ke pemerintah terpelihara. Swasta besar pembayar pajak banyak tetap mesra dengan masyarakat.

Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *