Saya selaku petani, senang sekali hati saya saat Pak Prabowo menyampaikan janjinya bulan Januari 2024 lalu. Bahwa akan mencetak sawah 4 juta hektar. Target kelar 2029. Pertanda tahu persis pangkal masalah utama bangsa kita ini.
Di antaranya kemiskinan dominan di pedesaan dan 49,8% dari total petani termasuk miskin dan rentan miskin (Kemenko PMK). Sebab utamanya ada 16,68 juta keluarga petani hanya memiliki lahan 0,25 ha/KK (Sensus Pertanian 2023).
Dengan logika dasar saja, wajar dampaknya ketahanan pangan Indonesia di ASEAN kalah dengan Singapura, Malaysia dan Vietnam. Di Dunia peringkat ke 63. Swasembada pangan makin jauh panggang dari api, ditandai impor Rp 330 triliun/tahun.
Solusi bijak cerdasnya harus cetak sawah untuk petani. Apapun konsepnya yang penting untuk petani. Agar indeks kepemilikan sawah bisa 3 ha/KK. Menjadi sebab utama petani sejahtera. Bisa pola kredit subsidi diangsur dari hasilnya. Persis petani sawit plasma.
Data BPS jumlah penduduk tahun 1980 an 155 juta, tapi tahun 2024 sudah 278,7 juta. Naik 2x lipat. Tahun 2030 diprediksi 300 juta jiwa. Padahal sawah Indonesia saat ini hanya 7,1 juta hektar. India 56,7 juta hektar. Sangat wajar banyak impor, idealnya iptek 500 meter/kapita. Atau 278,7 juta x 500 meter = 14 jutaan hektar. Kurang 7 juta hektar lagi.
Empiris saya pribadi tahun 2009 cetak sawah 21 hektar di Jonggol Bogor lahan tandus cadangan perumahan. Ternyata tidaklah sulit asal ada niat dan kesungguhan mempraktikkan inovasi remediasi. Begitu juga saat cetak kebun lebih dari 2.000 hektar, tandus jadi subur.
Prediksi saya anggaran cetak sawah di Kalimantan hanya antara Rp 60 juta sd Rp 100 juta/hektar. Itu sudah super pasca remediasi dan infrastruktur. Bisa kita bandingkan dengan harga sawah di Jawa minimal Rp 1 miliar/hektar. Ini peluang emas, untuk distribusi sebaran petani kita.
Kalau saya perhatikan di data dan kajian lapangan di Pangkalan Bun radius maksimal 2 jam dari Bandara Iskandar, Kab. Kotawaringin Barat, Kalteng. Kalau mau 600.000 ha saja bisa. Mutu lahan sangat bagus, mineral dengan humus, non gambut dan ada air agar bisa tanam 2X/tahun.
Akan makin bagus lagi, jika disiapkan rumah kredit KPR bagi petaninya di sekitaran sawah yang dicetak tersebut. Sekaligus integrasi dengan ternak sapi breeding/pembibitan agar berbiak makin massal. Harapannya petani sejahtera laba banyak karena harga pokok produksi (HPP) rendah.
Limbah sapi feses urine diperkaya biang mikroba (Bio Extrim, Hormax) bisa jadi pupuk super jangka panjang (remediasi) tanpa henti. Sebaliknya limbah pertanian bisa jadi pakan sapi. Kedua komoditas tersebut sangat marketable. Membendung impor dengan cara mensejahterakan/memberdayakan petani.
Begitu juga proses penyempitan lahan di Jawa Bali bisa terhambat karena ada pilihan sawah super murah dan mutu super yang bisa diangsur lewat perbankan. Agar mudah implementasinya, libatkan para pengembang cetak sawah inovatif berpengalaman panjang.
Jangan lagi menjahitkan baju ke bidan, harus ke penjahit. Jangan mau jatuh pada lubang yang sama. Di Kalimantan jutaan hektar ” lahan gundul ” pasca pembalakan liar sejak puluhan tahun silam.
Ingat di pedesaan pengeluaran pangan dibanding pendapatan 55,68% dan di perkotaan 45,96% (BPS). Pertanda pedesaan daya beli pangan rendah, lalu stunting kerdil kurang gizi masih 21,4% (2023) ini ancaman bangsa Indonesia. Karena soal daya saing mutu manusia Indonesia di masa depan.
Salam Mandiri 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630