Negara maju ciri utamanya ada pada pendapatan perkapitanya tinggi, minimal USD 13. 845 (per tahun, data Bank Dunia 2024). Tapi umumnya USD 20.000 sd USD 50.000. Setara minimal Rp 18 juta/kapita/bulan. Indonesia saat ini USD 5.200 setara Rp 6,7 juta/kapita/bulan. Kurang 3 kali lipatnya.
Sebab utama pendapatan per kapita tinggi di negara maju karena Indeks Kompleksitas Ekonominya (Economic Complexity Index/ECI) tinggi, umumnya 1,0. Indonesia masih peringkat ke 97 karena masih -0,17. Kalah dengan Singapura 1,7, Malaysia 1,1, Thailand 0,5, Vietnam 0,04 dan Filipina -0,9.
Indeks kompleksitas ekonomi tinggi di negara maju cermin masyarakatnya suka inovatif. Kinerja penelitinya banyak hak paten terdaftar di Hak Kekayaan Intelektual, tercermin pada indeks inovasi globalnya tinggi. Berimplikasi pada banyak produk turunan kompleks hingga diekspor. Nilai tambah besar. Laba besar.
Di perusahaan yang punya divisi riset dan pengembangan, penelitinya dituntut agar melahirkan invensi bisa dikomersilkan/dihilirisasikan jadi inovasi membumi. Agar perusahaan labanya besar, cepat kembali modal investasi (ROI) nya. Agar dapat ilmu hikmahnya, berikut contohnya ;
Perusahaan sawit.
Tidak mau ekspor CPO hanya harga Rp 15.000/kg. Dianggap murahan, keenakan negara lain yang dapat nilai tambah sangat besar dan menyerap pengangguran besar – besaran, sekaligus negara pengimpor CPO bisa dapat pajak jumlah besar rutin jangka panjang. Kalau cuma itu targetnya hanya dapat Rp 100 juta/hektar/tahun.
Perusahaan tersebut investasi industri ruas hilir nuansa inovasi. Pabrik dibangun plus modal kerja tambahan pasca CPO Rp 15.000/kg sekitar Rp 5.000/kg. Total modal kerja Rp 20.000/kg CPO. Jadilah minyak goreng premium harga Rp 25.000/kg hingga Rp 30.000/kg minyak goreng bermerk dagang top. Padahal hanya butuh 60% dari bahan baku CPO tersebut.
Masih 40% lagi dari CPO tersebut jadi margarin dan sabun nilai jualnya Rp 20.000/kg. Secara keseluruhan modal kerja Rp 20.000/kg dijual Rp 50.000/kg. Laba 60%, atau Rp 30.000/kg. Padahal baru 100.000 ton CPO/tahun, laba Rp 3 triliun/tahun. Negara dapat pajak, lapangan kerja tercipta mengurangi pengangguran dan lainnya.
Ilmu hikmahnya, betapa sangat jauhnya antara diekspor bahan baku/mentah wujud CPO hanya dihargai Rp 15.000/kg. Dibandingkan jika dihilirisasikan nuansa inovasi hasil risetnya para peneliti berubah total jadi Rp 50.000/kg, karena tambah Rp 5.000/kg modal kerja prosesnya. Dengan begitu banyak ternikmati oleh banyak orang karena terlibat jadi pekerjanya.
Sisi lain lagi, negara dapat pajak minimal 20% dari nilai tambah tersebut wujud PPN, PPH, PBB lokasi pabrik, BPKB angkutan truk kirim bahan baku dan kirim barang jadi, pajak ekspor minyak goreng margarin maupun sabunnya. Masyarakat yang kerja juga naik daya belinya, karena naik pendapatan per kapita dari gaji upahnya. Lalu bisa beli pangan, sandang, papan dan lainnya.
Itu baru skala 100.000 ton/tahun salah satu industri agro hilir inovatif. Bisa kita bayangkan jika semua wajib dihilirisasi di dalam negeri sebanyak 20 juta ton/tahun saja dari 34 juta ton CPO dan RPO/tahun yang kita ekspor selama ini. Maka pengangguran akan berkurang tajam, pendapatan per kapita dan daya beli masyarakat naik tajam, pajak untuk APBN juga terdongkrak besar – besaran.
Tentu selain sawit masih sangat banyak hasil bumi Indonesia milik kita ini. Sayangnya selama ini puas ekspor bahan baku (mentah), kita puas hanya jadi supplier industri canggih ruas hilir inovatif di negara maju. Wajar negara mereka labanya besar – besaran lalu pendapatan per kapita naik tajam, APBN bisa besar buat banyak sebagian kembali untuk penelitian.
Kata kunci, bangunlah jiwa raganya agar makin kompetitif lagi. Penelitiannya harus membumi agar mudah dihilirisasikan oleh praktisi bisnisnya. Membangun SDM praktisi bisnis agro hilir inovatif agar mampu menjabarkan apa yang diajarkan ipteknya, jadi kenyataan di tengah masyarakat, lalu mendongkrak pendapatan per kapitanya. Jadilah Indonesia maju.
Salam Inovasi š®š©
Wayan Supadno
Praktisi Agribisnis
HP 081586580630