Sungguh, syukur sekali saya dengar hari ini Presiden Jokowi dijadwalkan meresmikan waduk di Buleleng Bali. Bendungan Tamblang ini, sudah yang ke sekian kalinya dari puluhan bendungan yang ditargetkan rampung hingga 2023.
Bendungan adalah bagian dari iklim usaha sektor pangan. Faktor – faktor yang mempengaruhi masyarakat agar tumbuh kesadaran berpartisipasi investasi produktif di bidang pangan. Ini sangat penting bagi sebuah bangsa.
Konkretnya, sebelum bendungan tersebut dibangun. Mungkin ada area sawah luas 10.000 ha hanya bisa ditanam sekali saja per tahunnya. Dengan adanya bendungan Tamblang maka bisa berubah bisa menanam padi 3 kali setahun.
Perbandingannya, jika 10.000 ha hanya bisa sekali tanam maka hanya menghasilkan beras 3 ton/ha x 10.000 ha = 30.000 ton/tahun. Tapi jika bisa ditanam 3 kali setahun maka berubah total, bisa menghasilkan 3 ton/ha x 3 tanam x 10.000 ha = 90.000 ton beras. Berubah total.
Begitu juga dampak terciptanya lapangan kerja mandiri. Semua terangsang investasi produktif bahkan bisa jadi menggerakkan dana di bank. Dana terpakai untuk modal kerja tanam padi 90.000 ton beras x Rp 7.000/kg beras = Rp 630 miliar/tahun.
Jadi pemicu lokomotif perekonomian daerah/bangsa. Konkretnya, jika hanya di tabung di bank hanya dapat 2%/tahun. Ini bisa 20%/tahun. Jika dana bank yang dipakai pola KUR Rp 500 juta saja buat modal tanam padi luas 10.000 ha. Produktif 18%/tahun atau Rp 85 miliar/tahun.
Implikasi lainnya masih banyak sekali dari pembangunan iklim usaha pangan, bendungan tersebut. Di antaranya harga pokok produksi (HPP) jadi rendah, mengairi sawah tanpa solar atau bensin. Lalu bisa jual beras harga murah, tapi petani tetap dapat laba sehat. Sejahtera.
Ilmu hikmahnya, kunci menyediakan pangan cukup dan murah ada pada perhatian ke ” iklim usaha sektor pangannya “. Jika iklim usaha diperhatikan serius oleh yang mengelola APBN maka otomatis partisipasi rakyatnya akan meningkat tajam untuk investasi produktif di pangan.
Bukan dengan cara impor, jika terjadi kekurangan pasokan produksi. Kalau harganya mahal, bukan dengan cara operasi pasar barang impor dengan semaunya sendiri mematikan profesi petani. Selama ini hanya itu yang sering dilakukan.
Sebaliknya juga begitu, jika maunya harga murah harus dibantu caranya agar HPP (biaya produksi/kg) jadi murah. Dengan membangun iklim usahanya. Bukan bagi – bagi bansos atau subsidi yang non edukatif. Itu bukan teknologi atau inovasi. Justru merusak karakter mandiri inovatif.
Terbayang oleh saya. Andaikan terus konsisten membangun iklim usaha. Mulai kemudahan dapat air, kemudahan dapat modal, kemudahan kirim sarana produksi dan mengambil hasil panen karena jalan produksi direvitalisasi. Tata niaga berpihak bukan ke barang impor dan iklim usaha lainnya.
Dana untuk kemiskinan tidak dihambur – hamburkan. Hanya untuk rapat dan studi banding saja habis Rp 500 triliun/tahun. Tapi sadar itu milik rakyat. Kumpulan pajak rakyat jelata. Jabatan adalah momentum emas mengukir prestasi emas, agar bermanfaat bagi orang lain. Tahu bersyukur dan tahu diri.
Niscaya kemiskinan dan pengangguran akan berkurang drastis. Prevalensi stunting tidak lagi terbanyak ke 5 se-Dunia dan ke 2 se-Asean. Pangan tidak terlalu banyak impor. Harga pangan juga tidak termahal di Asean, bukan pengerek inflasi dan upah naik 8%/tahun lalu jadi sebab banyak investor kabur takut produknya tidak kompetitif lagi.
Indeks inovasi global berubah bukan peringkat ke 75 dari 132 negara dan indeks kompleksitas ekonomi berubah baik, bukan ke 61. Karena anak muda intelektual mau jadi praktisi pangan inovatif. Bukan seperti saat ini hanya 12% petani usianya di bawah 40 tahun (Sensus Pertanian terakhir).
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630