Jumlah penduduk Indonesia 274 juta jiwa (BPS) nampaknya sangat dinikmati oleh banyak negara penghasil pangan. Indonesia dijadikan target pemasarannya, mereka sangat menikmati, berpesta pora.
Bahkan beberapa komoditas makin besar impornya. Misal saja sapi, susu, gula, kedelai, gandum dan lainnya. Ini terjadi karena jumlah produksi pangan Indonesia kurang dan harga tidak kompetitif.
Yang paling meroket nilai ” kapital terbang ” nya devisa untuk impor, bahkan diagonalis adalah ;
1. Gula.
Tahun 1930, jadi produsen gula tebu juara 2 sedunia setelah Kuba. Saat ini 2023 impornya juara 1 sedunia, diagonalis negatif dari eksportir jadi importir. Volume impornya 4,3 juta ton/tahun.
Setara Rp 40 triliun. Implikasinya ” hilang kesempatan kerja ” 550.000 KK. Jika biaya hidup Rp 73 juta/KK/tahun. Implikasi ke lahan jadi tidur terlantar tidak produktif 800.000 ha, mestinya bisa ditanam tebu.
2. Sapi.
Tahun 1984 Indonesia banyak ekspor sapi ke berbagai negara. Termasuk sapi betina, dipilihkan yang super duper. Tapi saat ini sebaliknya jadi importir. Setara sapi hidup bakalan 1,5 juta ekor/tahun.
Setara Rp 35 triliun/tahun, ” kapital terbang ” menghidupi peternak luar negeri. Implikasinya ” hilang kesempatan kerja ” 500.000 KK peternak jika biaya hidupnya Rp 70 juta/KK/tahun.
Padahal dua komoditas di atas sangat tidak logis jika kita tidak mampu swasembada. Karena agroklimat mendukung. Sapi banyak pakan berlimpah hingga kita ekspor jutaan ton bungkil sawit per tahunnya.
Gula tebu, sekitar 40 juta hektar lahan terlantar di negeri ini (BPN). Kesemuanya fisibel jika untuk pengembangan tebu. Dana masyarakat parkir di bank di atas Rp 8.000 triliun (Presiden Jokowi).
Sesungguhnya, itu semua hanyalah wujud akibat saja. Dari sebab produk pangan kita terlalu mahal, tidak kompetitif dan kalah bersaing. Dampak langsung dari harga pokok produksi (HPP) yang tinggi.
HPP tinggi, akibat biaya produksi terlalu tinggi tapi hasil produksi terlalu rendah. Saat biaya dibagi hasil jadilah indeks harga jual mahal. Itu wujud akibat dari ” Iklim Usaha Pangan ” yang jelek dan inovasi belum membumi.
Contoh konkret iklim usaha pangan jelek dan inovasi belum membumi ;
1. Indeks kemudahan berusaha Indonesia masih peringkat 72 se-Dunia dan ke 5 se-Asean. Berusaha di Indonesia tergolong sulit dan ruwet. Ini hambatan serius untuk maju. Dampaknya masyarakat enggan berbisnis pangan.
2. Indeks biaya logistik (performa) Indonesia peringkat ke 46 dari 160 negara. Komponennya 23,5% dari PDB. Malaysia 13% dari PDB. Artinya ongkos kirim mahal kumulatif jadi beban petani. Dampaknya harga semua sarana produksi mahal.
3. Indeks inovasi global ke 75 dan indeks kompleksitas ekonomi ke 61 dari 132 negara. Selaras 82% hasil riset masih di lemari, bukan di petani. Konkretnya, IPB University mengklaim benihnya bisa 12 ton GKP/ha. Fakta di petani hanya 5 ton GKP/ha.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630