Mon. Sep 9th, 2024

PPIC (Production Planning and Inventory Control) sangat lazim dipakai oleh sebuah manajemen industri. Yang maksud tujuannya agar terjadi koneksitas perencanaan produksi yang matang antara kesiapan bahan baku, optimalisasi proses produksi dan serapan yang tepat pada ruas pemasarannya.

Sehingga terjadi arus kas keuangan produksi industri yang makin sehat berkelanjutan karena arus kas adalah nadi usaha. Bahan baku cukup dan bermutu yang kontinuitasnya terjaga. Pada fase produksi bisa menekan harga pokok produksi (HPP) serendah mungkin, biaya dibagi hasil dapat indeks terendah.

Agar mudah dipasarkan setelah menghasilkan barang jadi pasca produksi. Karena bahan baku bermutu, proses produksi yang benar dengan HPP sangat rendah. Ini sangat memudahkan pemasaran dalam membangun sehatnya cashflow usaha. Agar kemanfaatan manajemen bisa dirasakan oleh pengguna.

Bagaimana PPIC Sapi Indonesia, jika diibaratkan sebuah perusahaan raksasa ? Hipotesa saya sangat jelek. Manajemen perencanaan produksi sapi, sekali lagi sangat jelek. Kita sebagai rakyat Indonesia sangat bisa kita rasakan kegagalan itu. Indikasinya impor bahan baku yaitu sapi makin besar.

HPP sapi di dalam negeri sangat tinggi dan produk akhir tidak kompetitif kalah telak dengan daging impor. Yang pada akhirnya bukan hanya sapi saja yang impornya makin banyak, tapi impor daging sapi dan kerbau juga makin meroket menguras devisa. Meluluhlantakkan perekonomian peternak rakyat.

Indikasinya nampak jelas Indonesia ” Gagal PPIC ” sapi.

1. Bahwa dulunya bahan baku yaitu sapi kita ekspor besar – besaran, tapi saat ini impor sapi makin besar – besaran.

2. Bahwa HPP sapi kita sangat tinggi akhirnya kalah bersaing di pasar sendiri, stres berat jika sapi dan daging impor datang.

3. Bahwa pangsa pasar sapi dan daging kerbau sapi telah dikuasai oleh barang impor hingga 30%.

Sebab lain, manajemen PPIC yaitu Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementan hingga Top Leader di Indonesia, belum memberdayakan potensi pasar yang teramat besar dan potensi pakan sebagai kontributor HPP 70% yang juga sangat besar, adanya di Kalimantan.

Di antaranya gulma di kebun sawit dan limbah sawit sangat murah tapi bermutu super. Hanya dianggap limbah dan beban saja, bahkan hanya diekspor wujud bahan baku. Begitu juga tiada dijaga keseimbangan proporsi pemerataan sentra sapi. Konkretnya di Provinsi NTT, NTB, Bali, Sulawesi dan Jatim harga sapi ektrim murah.

Di sentra sapi tersebut terjadi proses tidak marketable, sapi betina banyak dipotong massal seolah tiada beban. Sebaliknya di Kalimantan harga sapi dan daging justru ekstrim mahal, padahal gudangnya pakan sapi murah meriah karena berlimpah. Implikasinya beban hidup jadi mahal, peluang usaha diabaikan saja.

Solusinya, bibit sapi calon indukan di sentra sapi harus dimobilisasi ke Kalimantan. Agar peternak di sentra sapi menikmati hasilnya sehingga sejahtera. Di Kalimantan terbangun sentra sapi baru dengan HPP sangat rendah sebagai pemasok utama pertama nasional di masa depan. Otomatis akan mampu bersaing dengan sapi dan daging impor.

Untuk memacu percepatan penambahan populasi sapi. Sangat penting impor sapi betina dikembangkan besar – besaran di Kalimantan. Agar hemat APBN, perusahaan pemilik IUP Tambang dan HGU Sawit diwajibkan bina masyarakat sekitar pengadaan sapi betina dari sentra sapi Indonesia maupun impor. Ini sangat penting minimal 5 juta ekor indukan.

Salam Berdikari 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *