Bank Dunia menuding harga beras di Indonesia termahal di Asean hingga 20% di atas negara lain, tapi petaninya belum sejahtera. Tudingan itu terus menggelinding bagai bola salju, makin besar saja dan banyak pendapat. Makin memanas jadi opini politik dan publik.
Saya selaku praktisi petani padi tidak heran, memang faktanya seperti itu. Karena tahun 2023 ada 16,8 juta keluarga petani hanya punya lahan 0,3 ha/KK (BPS). Ironisnya selama 10 tahun terakhir tambah 2,4 juta KK, tahun 2013 hanya 14,3 juta KK pemilik lahan 0,3 ha/KK (BPS).
Dengan sawah hanya 0,3 ha/KK, jika ditanami padi hanya akan dapat 2 ton GKP/musim. Jagung juga sama hanya akan dapat 2 ton/musim. Jika ditanam padi, padi dan jagung dalam setahun. Omzetnya hanya 6 ton x Rp 6.000/kg = Rp 36 juta/0,3 ha/KK/tahun.
Padahal biaya produksi dalam setahun menanam padi, padi dan jagung sekitar minimal Rp 20 juta. Labanya maksimal Rp 16 juta/tahun/KK. Setara hanya laba Rp 1,3 juta/bulan/KK. Jauh di bawah UMR pekerja pabrik di kabupaten manapun juga di Indonesia ini.
Bijaknya semua pejabat negara mulai Presiden hingga Kepala Desa tidak memungkiri fakta dan data ini. Harus berani jujur dengan masalah fundamental pangan di Indonesia. Tinggal dicari solusi idealnya. Bukan menutupi masalah. Bukan juga mengatasi gejala saja.
Kesejahteraan petani padi dan hortikultura beda jauh. Misal dengan petani buah, sayur dan bunga hias apalagi. Sangat beda. Petani hortikultura jauh lebih sejahtera, di atas petani padi. Ini penyebab petani padi berkurang dan anak muda enggan jadi petani.
Konkretnya, petani cabe. Dengan lahan 0, 3 ha/KK maka omzetnya bisa 5.000 batang cabe x 1,3 kg x Rp 30.000/kg = Rp 200 juta/0,3 ha/KK. Harga pokok produksi (HPP) sekitar Rp 10.000/kg cabe, laba Rp 20.000/kg atau Rp 133 juta/0,3 ha/KK. Kesejahteraannya jauh di atas petani padi.
Menggambarkan keadaan ketimpangan kesejahteraan yang menonjol dalam skala luas 0,3 ha/KK dalam lokasi sama. Antara petani padi dan petani hortikultura cabe. Petani padi omzetnya Rp 36 juta/0,3 ha/KK tapi petani cabe bisa Rp 200 juta/0,3 ha/KK.
Menandakan bahwa usaha tani padi belum sebanding antara imbalan yang didapat dengan jasa yang diberikan kepada bangsa dan negara kita. Implikasinya, kondisi ini akan jadi ancaman kedaulatan pangan Indonesia. Resiko pangan kita di masa depan.
Padahal pendapatan per kapita Indonesia saat ini sekitar Rp 78 juta/tahun. Harapan target minimal saat Indonesia HUT Emas 2045 jika harus jadi negara maju maka harus minimal Rp 16 juta/bulan atau Rp 200 juta/tahun. Bahkan Presiden Jokowi targetnya Rp 456 juta/tahun saat 2045.
Duuuh, petani padi sangat berat untuk sampai posisi itu jika lahannya hanya 0,3 ha/KK. Saat ini saja sudah sangat sulit karena logikanya hanya dapat laba Rp 16 juta/0,3 ha/KK. Saat pendapatan per kapita Rp 78 juta/tahun. Bagai langit dan bumi saja. Apalagi tahun 2045 nanti ?
Solusinya. Pemerintah tidak boleh memungkiri data dan fakta lapangan ini. Harus jujur lahir batin harus ada solusi cepat konkret terukur. Agar pangan berdaulat maka petaninya harus sejahtera. Agar sejahtera maka harus ada keberpihakan politik. Ini hal mutlak. Keniscayaan.
Mustahil petani mau jadi lilin terus, sekitarnya terang tapi dirinya meleleh habis. Petani adalah pahlawan pangan. Petani rohnya pangan, tanpa petani maka tanpa masa depan dan tanpa kehidupan. Pangan soal hidup matinya sebuah bangsa (Bung Karno, 1952).
Dirgahayu Hari Tani Nasional, 24 September 2024. Jayalah Indonesia karena petaninya pada inovatif.
Salam Inovasi š®š©
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630