Sebagian masyarakat melihat pebisnis seolah begitu enaknya, karena hidupnya terlihat bermanfaat nyata bagi orang lain jumlah banyak. Misal saja bisa membantu masyarakat jadi donatur pembangunan tempat suci dan tempat pendidikan sekaligus gratis tanpa biaya SPP nya.
Padahal miliaran investasi pembangunannya dan biaya operasionalnya tiap bulan puluhan juta. Karena dikonsep dengan baik. Misal saja honor pendidik, makan anak didik dan biaya lainnya. Diambil dari laba usaha yang dihibahkan. Wujud kebun sawit, SPBU atau lainnya.
Belum lagi implikasi lain sebagai pebisnis. Bisa cipta lapangan kerja jumlah banyak, masyarakat kesulitan dapat pekerjaan lalu ditampung dan dikaryakan. Dapat gaji rutin lalu mendongkrak daya belinya. Sebelumnya TKI, berubah berkarya di negeri sendiri lebih sejahtera. Ini kebahagiaan tersendiri dan tidak ternilai.
Itulah sebabnya saat saya jadi narasumber pembekalan wisudawan di beberapa kampus ilustrasi seperti itu saya kisahkan. Lalu saya bertanya siapa mau jadi pebisnis seperti orang tersebut. Ternyata semua angkat tangan. Semua ingin jadi pebisnis. Hingar bingar penuh semangat.
Sesungguhnya, peluangnya sama sekalipun latar belakang keluarga beda mau dari keluarga kaya raya ataupun dari keluarga miskin, hanya beda skala saja. Penyebab bedanya pada mental berani mengawali atau tidak. Mental mudah menyerah atau tidak. Mental bisa jadi dermawan atau tidak, saat sukses.
Contoh empiris saya sendiri sulitnya mengawali bisnis dan cara mencari solusinya ;
1). Sulit melahirkan intuisi ide bisnis.
Tahun 1995, saya baru dilantik di Magelang dan pangkat Letnan Dua dan 2 tahun sebelumnya diwisuda di Universitas Airlangga Surabaya. Orang Tua baru saja berangkat transmigrasi. Tiada punya pengalaman melahirkan ide gagasan bisnis. Sering tanya, bisnis apa yang paling baik dan aman kepada sahabatku.
Solusinya saya selalu menyimak banyak buku kisah inspiratif para pebisnis dan sekaligus bergaul ke para pebisnis. Lambat laun bisa lahir ide bisnis. Lalu dibuat simulasi bisnisnya dan dikaji ulang dengan kesungguhan. Dipraktikkan rekayasa pola pikir dalam imajinasi. Bukan cuma dihafal saja.
2). Tiada punya modal sendiri untuk bisnis.
Maklum orang tua dan mertua keluarga sangat bersahaja. Tentu tidak punya modal untuk mengawali usaha. Artinya pengalaman saya ini sama persis seperti yang dikeluhkan umumnya orang mau bisnis, tidak punya modal banyak untuk bisnis. Ternyata setelah bisnisku jalan, modal bukan prioritas pertama. Tapi kepercayaan.
Tepatnya tanggal 16 Januari 1995, saya utang Primkopad Rindam l/BB Pematang Siantar Sumut. Jumlah Rp 700.000, saya gunakan Rp 400.000 untuk beli vespa kuno 1964, Rp 200.000 isi amplop ke dokter kandungan anak saya lahir dan Rp 100.000 untuk modal usaha ternyata tidak sampai 10 hari juga sudah habis.
3). Sulitnya membangun kepercayaan.
Ini tidak mudah, karena dana tidak punya. Yang Rp 100. 000 sudah habis, ide bisnis ada sekalipun modal juga belum ada. Mau atau tidak mau, harus jadi manajer perencanaan dan keuangan. Tapi tidak punya uang sama sekali. Tapi usaha harus jalan agar dapat pengalaman dan laba usaha. Artinya harus ada transaksi tanpa memakai modal sendiri.
Solusinya cipta kondisi membantu menekan harga pokok produksi (HPP) perusahan dan meningkatkan likuiditas maupun omzet serta labanya. Contoh penggilingan padi biasa memakai karung baru untuk panen padi saya tawari karung bekas harga 50% dan ikut memasarkan berasnya. Tentu senang karena biaya produksi turun laba naik. Omzet penjualan makin banyak.
Ilmu hikmahnya, dengan berproses seperti itu lambat laun dapat ilmu karena punya banyak pengalaman yang dikaji ulang dan banyak waktu bergaul dengan yang berpengalaman. Praktis bisnis makin besar, laba terkumpul walaupun modal orang lain. Laba tersebut jadi banyak untuk modal sendiri. Karena makin sibuk urusan bisnis dan dinas militer maka merekrut orang cipta lapangan kerja makin banyak.
Salam Kreatif 🇮🇩
Wayan Supadno
Praktisi Bisnis
HP 081586580630