Semua negara di atas bumi ini berlomba membangun manusianya agar pada jadi entrepreneur, pelaku usaha yang mengkomersilkan hasil riset (invensi) agar jadi inovasi. Membumikan inovasi agar bermanfaat di tengah pasar masyarakat luas.
Umumnya 2% dari jumlah penduduknya. Sisanya pelaku usaha perdagangan biasa. Misal Singapura entrepreneur 2%, sisanya 6,76% pelaku usaha perdagangan. Dari total jumlah pelaku usaha 8,76%. Padahal Singapura negara maju.
Tentu di negara lain termasuk di Indonesia jauh di bawahnya. Misal di Indonesia, jumlah pelaku usaha hanya 3,47% dari jumlah penduduknya. Tentu yang jadi entrepreneur, usahanya yang inovatif jumlahnya jauh makin sedikit lagi.
Contoh di atas, bukti membangun entrepreneur sangat sulit. Testimoni lagi, mahasiswa di kampus keren sekalipun, yang mampu melahirkan alumni jadi entrepreneur tidak lebih 2%, padahal hampir semua mahasiswa ingin jadi entrepreneur.
Berikut ini ada beberapa kisah nyata, bisa diambil ” ilmu hikmah ” efek domino dari entrepreneur ;
1). Seorang sahabat di Banyuwangi.
Usahanya agro ada ternak sapi fattening, buah tropis dan distributor sarana prasarana pertanian. Karyawannya 70 orang lebih, distributornya tidak kurang dari 150 keluarga dan tenaga harian lepas juga puluhan orang. Total cipta lapangan kerja 300 an keluarga.
Implikasinya anggaran untuk gajian Rp 2 miliaran/bulan. Atau Rp 25 miliaran/tahun termasuk THR dan lainnya. Dana Rp 25 miliar/tahun tersebut beredar di masyarakat untuk belanja pangan, sandang, papan, kendaraan, sekolah anak – anak, dan lainnya.
Dana tersebut terus dinamis bergerak ke ruas berikutnya di tengah masyarakat. Misal gajian untuk angsuran rumah, otomatis developer perumahan dapat omzet. Lalu buat beli semen, besi dan menggaji tukang. Beli beras, otomatis toko beras dan petani dapat omzet juga.
Pajak yang dibayarkan oleh sahabat tersebut belasan miliar/tahunnya. Untuk PBB, BPKB, PPh, PPN dan pajak lainnya. Ini akan terkumpul jadi APBN dan APBD sebagai bekal menggaji pejabat, ASN dan lainnya. Implikasinya infrastruktur, subsidi BBM dan bansos kaum berhak akan terwujud.
2). Seorang sahabat di Kaltim.
Usahanya ternak ayam potong 400.000 an ekor, sapi ratusan ekor, buah tropis di atas 120 hektar, kebun karet dan pemborong rekanan tambang batu bara. Jumlah karyawan dari masyarakat menganggur diubah jadi produktif di atas 1.000 keluarga. Suppliernya ratusan keluarga.
Implikasinya anggaran buat gajian Rp 8 miliaran/bulan. Setara Rp 110 miliaran/tahun. Sebanyak ini untuk multi posisi mulai manajer hingga pasukan terbawahnya. Dana untuk gajian dan THR Rp 110 miliar/tahun beredar menumbuhkan ekonomi di masyarakat.
Mengaku jumlah pajak yang dibayarkan ke negara tidak kurang dari Rp 25 miliar/tahun. Sama juga untuk APBN/APBD bersumber dari PBB, BPKB, PPh, PPN dan lainnya. Oleh pemerintah pengelola APBN/APBD diubah jadi gajian ASN/TNI/Polri, membangun IKN dan lainnya.
3). Begitu juga saya.
Tahun 2024 ini penyerapan pengangguran jadi berkarya (cipta lapangan kerja) akan ” goal tambah ” 70 keluarga dari sebelumnya. Anggaran untuk gajian dan setoran pajak akan meningkat. Untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan produk saya membendung impor.
Ilmu hikmahnya, hanya dari 2 orang sahabat dekat saya tersebut. Telah cipta lapangan kerja langsung dan tidak langsung di atas 1.500 keluarga, yang dulunya ” daya beli rendah ” karena tanpa kerja, jadi daya beli tinggi karena punya gaji/bulan atau borongan. Hidupnya jadi sehat, sejahtera dan bahagia.
Secara bersamaan karena ada 2 orang entrepreneur sahabat saya tersebut, maka APBN dan APBD dapat masukan minimal Rp 36 miliar/tahun, ini juga untuk gajian aparatur negara dan pembangunan bangsa. Ekonomi otomatis tumbuh dinamis, karena 2 orang pelaku usaha tersebut investasi produktif.
Pertanyaan kritisnya, jika kita sudah tahu efek domino entrepreneur sangat banyak dan tiada henti berantai bagai bom atom. Kenapa kita kurang gigih membentuk insan entrepreneur lebih banyak lagi ? Jika ada 5.000 orang lagi saja, maka terserap tenaga kerja minimal 7 juta.
Dengan begitu maka akan ” Nol Pengangguran ” di Indonesia ini. Maka pendapatan per kapita kita tidak hanya 6% nya dari Singapura. Caranya, sangat mudah. Tiap kampus wisudawannya harus ada yang jadi entrepreneur 10% saja. Bukan hanya 2% seperti selama ini.
Agar hasil riset kita oleh peneliti di kampus dan BRIN ada di pasar juga, bukan hanya di lemari menumpuk makin banyak saja. Malu dengan rakyat jelata pembayar pajak.
Penelitian terbaik, yang hingga jadi inovasi terkomersilkan beredar di masyarakat bermanfaat. Ilmu terbaik, yang dipraktikkan. Sehingga harus melahirkan praktisi inovatif (entrepreneur), minimal 8% dari penduduk kita, lazimnya negara maju.
Salam Inovasi š®š©
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630