Pada hakikatnya maju mundurnya sebuah bangsa, tergantung mutu manusianya. Begitu juga sebuah perusahaan, bangkrut bangkit lagi atau tidaknya juga tergantung mutu manusianya. Sebuah keluarga, warnanya sangat tergantung pada mutu manusianya.
” Allah tidak akan mengubah nasib suatu umat (kaum), jika umat (kaum) tersebut tidak mau berusaha mengubah nasibnya sendiri. “
Begitu juga kondisi sebuah negara saat ini sedang krisis pangan, energi dan keuangan hingga bangkrut juga karena mutu manusianya. Bahkan termasuk krisis tenaga kerja atau justru sebaliknya krisis lapangan kerja pada sebuah negara, juga tergantung manusianya.
Saat ini di Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Malaysia sedang krisis tenaga kerja. Artinya kekurangan tenaga agar normal kehidupan bangsa tersebut harus impor dari negara lain. Contohnya Malaysia, kekurangan tenaga kerja 1,2 juta orang. Ada di dalamnya untuk industri sawit 500.000 an orang.
Demi keberlanjutan industri dan kebun sawitnya maka impor tenaga kerja dari India, Bangladesh, Filipina dan Indonesia. Luas sawitnya hanya 5,9 juta ha, 36% sawit Indonesia. Tapi padat karya. Paling disukai dari Indonesia karena bisa dipercaya, karakternya manut dan kapasitas keterampilannya mumpuni.
Lalu, kenapa negara lain banyak pengangguran tapi negara tersebut justru sebaliknya. Krisis tenaga kerja. Hingga impor, bahkan saat ini Malaysia ada sebanyak ribuan orang per harinya menyedot tenaga kerja Indonesia baik legal maupun ilegal. Gaji pemanen sawit bisa Rp 10 juta an/bulannya. Pendapatan per kapitanya Malaysia 3x lipatnya Indonesia ?
1. Karena mutu manusianya pembuat kebijakan. Dalam kebijakan pola didik kurikulumnya dirangsang agar berjiwa mandiri, bukan berjiwa suka antri pembagian bansos atau subsidi. Sehingga bersinergis dan berkompetisi agar jadi pengusaha. Sehingga jumlah pengusahanya di atas ideal 5% dari jumlah penduduknya.
2. Karena mutu manusia pembuat kebijakan iklim usaha merangsang agar warganya jadi pengusaha pencipta lapangan kerja. Jika penduduknya 100 juta, 5% (5 juta) jadi pengusaha. Menyerap 25 orang/pengusaha, maka butuh 5 juta pengusaha x 25 orang pekerja = 125 juta tenaga kerja terserap. Jadi krisis tenaga kerja.
3. Karena manusia pembuat kebijakan pada pajak ekspor perdagangan merangsang agar berlomba ekspor. Caranya pajak ekspor diminimalkan, bukan dimaksimalkan seperti di Indonesia. Dampaknya lomba banyak – banyakan ekspor. Negara dapat pajak dan devisa makin besar, lapangan kerja tercipta banyak dan pendapatan per kapita terdongkrak.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630