Ekspor impor adalah perdagangan antar bangsa saja. Hal biasa saja. Akan jadi luar biasa jika terjadi defisit, lebih banyak impor dibandingkan ekspornya. Juga jadi luar biasa jika barang yang diimpor, sesungguhnya bisa diproduksi sendiri.
Hal biasa diimpor jika barang tersebut hasil inovasi canggih sebagai sarana investasi produktif jangka panjang, karena kita belum bisa memproduksi. Atau contoh lain bahan baku pupuk SP36 dan KCl, karena kita belum punya tambangnya.
Hal luar biasa jika impor pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri, cocok agroklimatnya. Misal beras, gula, bawang putih, susu, sapi dan lainnya. Karena lahan terlantar masih luas, pengangguran masih banyak, pakan sapi berlimpah.
Logika dasar impor pangan apabila jumlah produksi terlalu sedikit dibandingkan jumlah kebutuhan nasional. Lalu barang langka jadi mahal, inflasi naik menambah beban biaya hidup masyarakat. Jumlah kemiskinan sulit dikurangi.
Akibat dari impor, lapangan kerja terdesak pengangguran makin banyak. Contoh impor daging kerbau sapi dan sapi hidup setara Rp 50 triliun/tahun. Setara omzetnya 700.000 peternak jika 1 peternak butuh Rp 70 juta/tahun.
Karena ” pelaku rente ” pangan Indonesia termahal di Asean. Sekalipun sumber asal impor sama. Misal saja beras, daging sapi kerbau, bawang putih, gula dan lainnya. Ironis lagi barang tertentu impornya dari Singapura. Bawang putih dan cabe.
Di balik derita rakyat pangan mahal tersebut. Ada yang dapat cuan nikmat dari impor pangan. Skalanya puluhan triliun per tahun dan hanya dinikmati oleh sekelompok kecil orang saja. Sumber dana taktis organisasi tertentu, misalnya.
Gula.
Jumlah impor 5,3 juta ton/tahun setara minimal Rp 65 triliun/tahun. Harga di negara asal impor sebagai produsen hanya 60% dari harga eceran di Indonesia. Artinya ada ” cuan rente ” sekitar Rp 26 triliun/tahun. Siapa penikmatnya ? Pokoknya meriah.
Daging kerbau, sapi dan sapi hidup.
Harga daging kerbau di India sekitar Rp 50.000/kg, harga eceran di Indonesia Rp 110.000/kg. Belum lagi daging sapi dan sapi hidup. Pokoknya laba 20% meremlah dari Rp 50 triliun/tahun. Makanya makin tidak swasembada sapi karena ada ” cuan rente ” besar.
Bawang putih.
Jumlah impor 630.000 ton/tahun. Kalau laba Rp 10.000/kg, kecil itu. Setara Rp 6,3 triliun/tahun. Makanya Singapura suka jadi pemain eksportir ke Indonesia. Prov. NTB dan Jateng pernah jadi sentranya. Ludes. Program importir harus berproduksi, hanya ilusi.
Kedelai.
Sumber protein nabati idola masyarakat Indonesia ini jumlah impornya 3,2 juta ton/tahun. Menguras devisa sekitar Rp 40 triliun/tahun. Kalau yang dinikmati rente Rp 3.500/kg saja. Setara Rp 10 triliun/tahun. Fast moving, pasarnya makin besar.
Selain saya sebutkan di atas masih banyak sekali yang rutin kita impor. Misal gandum 11 juta ton/tahun, buah, sayur dan lainnya. Ini ibaratnya persis kue tart ultah, mudah dibagi – bagi kepada para pihak yang berkepentingan. Hanya tak elok disebut, walaupun saya tahu. Ehm.
Yang pasti penikmat triliunan per tahun tersebut, bukan petani dan peternak Indonesia yang selalu berjuang agar swasembada. Makanya saya tiap membuat narasi dalam video ajakan agar kita breeding sapi. Pada senyum – senyum kerling mata ke saya, bahasa tubuh sindiran.
Apalagi saat saya mengajukan ke Menteri Pertanian Cq. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai stimulus perbanyakan sapi indukan sistem nggaduh/nitip bagi hasil agar berbiak massal. Pada menertawakan saya. Anak ini terlalu polos, ujarnya.
Salam Mandiri 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630