Ilustrasi, sebuah keluarga muda anak 2 orang. Kepala keluarga kerja gaji UMR. Biasanya cukup untuk pangan berempat dan angsuran kredit rumahnya. Karena pangan harganya naik semua jadi mahal maka gaji pun tidak cukup.
Mutu pangan pun berkurang. Statusnya jadi rentan miskin. Karena kolektif, maka perserikatan pekerja menuntut kenaikan upah kerjanya. Agar kembali cukup seperti semula. Pabrik tempat kerjanya makin terbebani dengan tuntutan kenaikan upah.
Karena bahan baku pabrik ikut naik harganya, akibat ongkos kirim naik, dampak harga BBM ikut naik juga. Ditambah omzetnya turun dampak dari permintaan pasar turun, dampak ekonomi global lesu. Karena produk pabrik tersebut untuk ekspor.
Langkah pemilik pabrik mengurangi karyawan (PHK) massal. Daripada berlarut – larut mengalami kerugian tanpa kendali. Akhirnya jika tanpa rasionalisasi justru utang membengkak. Pailit bisa dilelang, justru mengancam semua karyawan kena PHK total.
Dampaknya kemiskinan tambah, karena tanpa pemasukan tapi biaya hidup makin mahal. Inilah prosesinya, jika pangan tidak bisa dikendalikan harganya. Ditandai dengan inflasi naik tinggi. Jika kemiskinan tambah, demi makan bisa berbuat apa saja. Termasuk berbuat jahat demi makan.
Jika kemiskinan bertambah maka dampak lanjutannya mutu pangan turun drastis. Ini sangat berbahaya bagi masa depan sebuah bangsa. Utamanya bagi keluarga muda yang istrinya sedang hamil dan punya anak balita, bisa stunting kerdil kurang gizi.
Jika janin dan balita kurang gizi bermutu. Itulah masalah sangat serius jangka panjang. Kerdil, sakit – sakitan, rendah produktivitasnya dan saat dewasa justru jadi beban negara berkelanjutan. Ini sangat fatal bagi sebuah negara yang berpikir ke depan. Kontra produktif.
Saat ini, Indonesia impor beras 0,5 juta ton karena stok kurang harga mahal. Daging sapi dan kerbau impor 200.000 ton karena harga merangkak naik. Gula, kedelai, gandum, jagung dan bawang putih juga makin besar impornya. Pertanda ada yang salah mengelola pertanian kita.
Salah pengelolaan pertanian, indikasinya APBN selama 7 tahun terakhir mengalir ke pertanian dan pedesaan sekitar Rp 125 triliun/tahun. Berkali lipatnya dibandingkan sebelumnya. Masih banyak progja yang non solutif penyebab, dominan solusi simptomatis gejala saja.
Contoh ;
Beras jumlah produksi terbanyak ke – 3 se-Dunia. Setelah RRC dan India. Produktivitas tertinggi ke – 2 setelah Vietnam. Tapi masih impor 0,5 juta ton, pertanda luas tanamnya kurang. Dominan sawah yang ada hanya 1 kali tanam/tahunnya.
Luas sawah 7,1 juta ha, tertanam hanya 10,6 juta ha. Jika bisa hanya 2 kali tanam mestinya bisa 7,1 juta ha x 2 = 14,2 juta ha/tahun. Jika ini pasti tidak impor. Karena bisa 42 juta ton/tahun. Kebutuhan nasional hanya 31 juta ton beras/tahun.
Solusi kausatiknya tingkatkan iklim usahanya. Bangun waduk dan revitalisasi irigasinya. Lebih massal dan cepat lagi. Perbanyak cetak sawah baru yang pasti bisa tanam padi 3 kali/tahun, cetak sawah di hulu sungai ada air sepanjang tahun non tadah hujan. Bansos subsidi non solutif, karena non edukatif.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630