Kecamatan di Banyuwangi Selatan. Tempat saya lahir. Ada fenomena dari semua TKW (tenaga kerja wanita) yang kerja di luar negeri 80% setelah pulang ” menyusuki ” istilah di kampungku atau mendanai ke Pengadilan Agama minta cerai.
Ada ratusan kepala keluarga korban perceraiannya. Sekitar 80% jumlahnya yang minta cerai dari total yang jadi TKW. Sangat memprihatinkan. Setiap ada yang minta mau jadi TKW ke suaminya selalu was – was bagai pertanda mau bubar rumah tangganya.
Tapi bagi yang konsisten sepulang dari luar negeri banyak tabungannya lalu bisa berbenah ekonominya. Misal membeli sawah, rumah dan membangun usaha yang modern. Banyak sekali. Karena kerja di luar negeri bagai diklat nyata dan dapat gaji banyak.
Fenomena kejadian di atas. Bukti nyata akibat terlalu banyak pengangguran Indonesia lalu meluber ke luar negeri jadi TKI. Akibat langsung kurangnya profesi pencipta lapangan kerja yaitu pengusaha. Indikasi pola didik kita dan iklim usaha harus dievaluasi.
Di Sentul 4 hari lalu acara Rakornas, Menteri Ketenagakerjaan Ibu Ida Fauziyah memaparkan bahwa jumlah pengangguran Indonesia 8,4 juta orang, ngenesnya 2,8 juta orang tiada lagi punya harapan dapat kerjaan. Hopeless of job. Sangat menyedihkan sekali. Kasihan.
Pada paparannya, yang jadi perhatian serius saya. Bonus demografi saat ini, kenapa justru pengangguran usia muda yang mestinya produktif justru dominan, pengangguran usia 15 tahun s/d 24 tahun sebanyak 46% dari total pengangguran. Jelas ini terpelajar. Hemm.
Proporsi pengangguran terbanyak di perkotaan dan bukan di pedesaan. Ironisnya dilihat dari pendidikannya justru lulusan perguruan tinggi makin meningkat tajam dari total pengangguran. Dari tahun ke tahun lulusan perguruan tinggi makin mendominasi jumlah pengangguran terbuka.
Pertanda lulusan perguruan tinggi tidak bernyali ambil peran jadi pengusaha sebagai pencipta lapangan kerja untuk dirinya dan teman – temannya. Ini masalah sangat serius. Harus dicari sebab dan solusinya cepat. Karena inilah pemikir dan pemimpin masa depan.
Terbayang oleh saya. Jumlah pengusaha kita 3,41% (Kemenkop UKM) setara 9,3 juta. Pengangguran terbuka 8,4 juta (BPS). Sesungguhnya dari pengusaha menengah sekitar 5 juta. Jika dinaikkan kapasitasnya ( scale up ) lalu merekrut 2 orang pengangguran per pengusaha.
Konkretnya 2 orang pengangguran x 5 juta pengusaha = 10 juta pengangguran terserap. Selesai. Nol pengangguran. Kalkulasi logis ini sangat terukur jika pemerintah serius mau mengatasi pengangguran dari aspek iklim usaha disempurnakan.
Contoh konkret. Saya selama ini mengkaryakan 150 an KK. Kebun, sapi, pabrik pupuk hayati Bio Extrim dan hormonal Hormax, SPBU Mini dan pembibitan. Selain pemborong dan supplier. Jika ditambah 100 karyawan atau plasma, saya siap. Jika ada 85.000 pengusaha sekaliber saya setara 85.000 pengusaha x 100 orang = 8,5 juta pengangguran terserap produktif. Nol pengangguran.
Caranya ?
Berikan kami stimulus perangsang iklim usaha. Bukan bansos tidak edukatif. Tapi yang produktif. Misal jalan yang kewajiban pemerintah dibenahi di area kandang sapi agar saya tidak korban miliaran karena itu, itu tugas pemerintah. Mutlak. PLN dilayani bukan bayar sendiri miliaran kalau mau menambah gardu.
Bunga bank 2%/tahun didukung APBN. Selama ini breeding sapi 700 ekor agar jadi 5.000 ekor, seperti di luar negeri. Tapi saya wajib impor sapi betina dara atau buntingnya, itu misalnya. Ekspor bungkil sawit distop agar dipakai peternak dalam negeri, agar harga protein hewani sapi murah. Cegah stunting. Karena selama ini terampil breeding membiakkan sapi.
Agar programnya beda. Tidak sia – sia, seperti bansos selama ini. Puluhan triliun tapi tiada hasil. Puluhan ribu sapi dibagi – bagi, ujungnya banyak yang pada dijual lagi. Inilah sesungguhnya pemborosan APBN/APBD sangat ekstrim besarnya. Bertahun – tahun. Tersistematis. Kasihan rakyat jelata pembayar pajak.
Salam 🇲🇨
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630