Menurut data Sensus Pertanian yang dilakukan oleh BPS, populasi sapi di Indonesia mengalami ” penurunan ” antara tahun 2013 dan 2023. Saat 2013 jumlah sapi dan kerbau 14,2 juta ekor sedangkan tahun 2023 hanya 11,79 ekor. Terjadi depopulasi.
Sehingga tidak perlu heran jika jumlah impor sapi hidup, daging sapi dan daging kerbau terus meroket saja. Seiring dengan penambahan jumlah dan kesejahteraan penduduk kita. Hingga total impor jika dianggap sapi hidup setara 2,5 juta ekor/tahun.
Jumlah impor 2,5 juta ekor/tahun tersebut. Jika jantan semua maka setara hasil sapi melahirkan di Australia 3 tahun silam sebanyak 5 juta ekor indukan. Jika rasio yang beranak 85% dari populasi indukan produktif, setara 6 juta ekor. Itulah jumlah kekurangan indukan sapi Indonesia.
Tapi ironisnya, selama ini solusinya cuma impor sapi jantan bakalan siap digemukkan dan dipotong. Juga impor daging sapi dan daging kerbau. Non cipta lapangan kerja. Memperkaya negara asal. Kita hanya jadi pangsa pasar saja. Kebijakannya salah fatal.
Kalau kebijakannya seperti ini terus maka sampai kapanpun juga. Indonesia tidak akan pernah swasembada sapi kerbau. Justru makin banyak ketergantungan impornya. Makin tidak berdaulat. Karena tidak breeding /membiakkan. Hanya fattening saja.
Padahal di kampus fakultas kedokteran hewan dan fakultas peternakan doktrinnya ” breeding is leading “. Inilah sumber masalah di berbagai sektor di Indonesia. Tidak konsisten antara yang dipikirkan, diucapkan dan dipraktikkan. Sebab utama banyak disalip negara lain.
Tidak linier antara yang dipelajari dengan pikiran, dibahas/diajarkan dan dipraktikkan di lapangan. Umumnya karena tarik menarik antar kepentingan konglomerasi, parpol dan lainnya. Bukan kaidah ilmu pengetahuan yang sebenarnya.
Solusi idealnya. Yang diimpor adalah mesin pencetak anak sapi jantan/betina. Yang bernama sapi betina bakalan atau bunting. Sebanyak mungkin hingga minimal 6 juta ekor, secepatnya. Agar anaknya 5 juta ekor/tahun jantan dan betina. Mutlak. Bukan jantan atau daging saja.
Sehingga 3 tahun lagi yang jantan siap potong 50% dari anaknya tersebut yaitu 2,5 juta ekor. Setara jumlah impor bakalan jantan selama ini. Harusnya BUMN yang impor sapi betina bakalan produktif atau bunting, dengan non laba lalu dijual ke masyarakat luas. Agar cipta lapangan kerja.
Kalkulasi logisnya, sapi betina umur 10 bulan di Australia hanya maksimal Rp 10 juta/ekor. Ini jika memakai dana masyarakat peternak atau memakai KUR BRI atau BUMDes akan sangat memacu percepatan penambahan populasi sapi. Agar ekonomi kerakyatan tumbuh subur madani.
Bukan hanya PMA saja yang disambut dengan ” karpet merah ” terus dengan sarat kepentingan. Juga bukan hanya Kapitalis saja yang dimanja dengan berbagai kebijakan dan fasilitas pendanaan perbankan skala triliunan. Ini yang terjadi selama ini. Rasio gini kesenjangan sosek sudah lebar menganga.
Peternak rakyat jelata butuh pekerjaan mandiri di negerinya sendiri. Agar bisa juga tumbuh ekonominya. Agar juga para pemuda tidak ” #Kabur Aja Dulu “. Negara harus hadir jadi solutifnya. Anak muda adalah pemilik masa depan Indonesia. Ini sangat penting.
Salam Setia š®š©
Wayan Supadno
Peternak Sapi
HP 081586580630