Sun. Oct 20th, 2024

Banyak kisah kawula muda sarjana mimpinya ingin jadi pengusaha, selalu ditunda – tunda hingga rencananya berulang tahun berkali – kali. Tidak terasa tahu – tahu tanggal 1 lagi, tahu – tahu tahun baru lagi, tahu – tahu anaknya satu lagi dan seterusnya. Alasan utamanya merasa tidak punya modal.

Seolah tidak mau belajar naik sepeda motor jika belum ada Harley Davidson yang super mahal. Seolah jika sudah belajar mengendarai sepeda motor baru Harley Davidson otomatis pasti tanpa jatuh dan spontan bisa jadi pembalap hebat. Tanpa sadar pembalap umumnya, diawali belajar dengan sepeda motor apa adanya.

Banyak pula peneliti alumni pascasarjana, sama juga mimpinya mau jadi pengusaha inovatif. Menghilirisasikan atau mengkomersialisasikan di pasar invensi hasil risetnya agar jadi inovasi membumi. Tapi juga ditunda terus hingga usia senja batal mimpi jadi entrepreneur. Karena merasa tidak punya modal.

Seolah produk inovasi yang beredar di pasar bahkan jadi ” market leader ” yang mendunia, karena berawal modal besar. Atau merek produk inovasi yang refleks dalam ingatan pengguna di tengah masyarakat karena berawal dari modal banyak sekali. Seolah jika ada modal besar otomatis ” running well ” di usaha inovatif.

Banyak lagi kisah, berani memulai karena dapat modal dari orang tuanya atau pihak lainnya atau dari tabungannya. Berjalan 1 s/d 2 tahunan, beberapa kali gagal dan gagal. Ibaratnya sudah 9 langkah tapi gagal merasa modalnya kurang banyak. Berhenti usaha. Padahal langkah ke 10 sudah di pintu gerbang jalan mulus menuju sukses jadi pengusaha.

Seolah Tuhan bukan maha adil, orang lain pelaku usaha tanpa berulang kali harus berproses jatuh bangun baru ” nemu jalan ” agar seimbang. Lalu bisa jalan. Padahal orang lain yang jadi pengusaha juga pasti pernah gagal, tertipu, kena bencana dan terhambat majunya usaha karena ruwetnya birokrasi justru oleh oknum pejabat itu sendiri.

Padahal sebuah usaha bisa hidup tumbuh berkembang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Misal merekrut pengangguran jumlah banyak jadi produktif, mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dampak lainnya. Karena hidupnya usaha tersebut merupakan dampak dari ” dihidup – hidupkan sampai hidup beneran “.

Bagaimana empiris pribadi saya sendiri agar dapat ilmu hikmah prosesnya ?

1. Tahun 2008 akhir.

Pupuk kimia NPK langka dan mahal. Di TV ada berita truk muatan pupuk urea dijarah petani Sidoarjo Jatim. Lalu saya terinspirasi mencari solusinya. Melakukan penelitian pupuk organik Organox, pupuk hayati (mikroba) Bio Extrim, hormonal organik Hormax dan pestisida hayati Bomax.

Karena pasca bangkrut ” tidak punya modal ” melakukan sebisanya dan seadanya. Riset hanya dengan bekas botol Aqua di uji mutu dan uji efektivitas di Kampus IPB. Lulus. Maklum tanpa APBN seperti peneliti – peneliti lainnya yang memakai dana APBN hingga miliaran. Modal saya hanya intuisi, ide meneliti, mental berani mulai usaha dan pantang menyerah.

2. Tahun 2009.

Karena sudah terdaftar Hak Kekayaan Intelektual di Ditjen Haki Kemenkumham. Juga izin edar sudah terdaftar. Maka melakukan proses hilirisasi. Karena nol sejengkal lahan pun tiada punya. Maka numpang dan menyewa lahan orang di Jonggol Bogor. Menanam cabe, buncis, padi dan singkong. Berhasil.

Inilah awal terkomersilkan membangun sehatnya cashflow formulasi dan produksinya Hormax, Bio Extrim, Organox, Raja Rhizo dan Bomax. Kapasitas produksi di scale up dari botol ke drum 200 liter lalu jadi tangki 20.000 liter beberapa unit dari omzet di bawah Rp 1 juta, sampai 14 tahun ini hingga 2023 terkumpul ada Rp 160 miliaran.

Terpenting banyak petani jadi ketagihan repeat order berulang kali, banyak agen dan distributor jadi pencipta lapangan kerja dan pembayar pajak jumlah besar rutin dan implikasi lainnya. Itu semua karena dirasakan ada manfaatnya. Itu semua, sejujurnya bukan karena saya berawal modal banyak, tapi karena mental kemauan keras tanpa menyerah saja.

Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *