Masyarakat dunia kali ini sedang belajar dari pengalaman di masa lalu, saat Perang Dunia l dan ll meletus. Dicari apa penyebabnya dan dicari cara masa lalu menyelesaikan hingga dunia kembali damai. Tanpa perang massal antar banyak negara. Maksud tujuannya belajar dari pengalaman untuk tidak mengulangi kesalahannya.
Masyarakat dunia juga sedang belajar dari pengalaman masa lalu. Perihal kelangkaan pangan lalu menimbulkan kelaparan di banyak negara. Akibat perang di sebuah kawasan atau akibat ketegangan geopolitik. Bahkan belajar dari masa lalu saat ada Pandemi Covid 19 di ” lockdown ” lalu tidak produksi pangan dan tanpa distribusi pangan.
Indonesia sendiri seyogyanya juga harus belajar dari pengalaman masa lalu. Tahun 1957 sd 1962 pernah ada korban tewas ribuan jiwa di Indonesia karena kelangkaan pangan. Harus juga belajar dari masa Covid 19, gula terlambat datang dari impor harganya naik dari Rp 11.000/kg jadi Rp 23.000/kg. Inflasi kontan meroket. Semua panik.
Pemerintah, harusnya juga belajar dari masa lalu. Utamanya pada 2 tahun terakhir ini hal beras dan daging sapi. Jumlah impornya ugal – ugalan naiknya. Hingga beras dan daging sapi langka, lucunya lagi melakukan upaya bukan pada ” sebab/causatic ” tapi hanya mengatasi ” gejala/symtomatic ” nya saja. Misal beras pakai kemasan 250 gram. Lucu sekali.
Seolah tidak bisa menganalisa data ekonometrikanya. Data empirik makro secara statistik diberdayakan dengan pola pikir ekonomi pangan terkait beras dan daging sapi. Praktis harga beras dan daging sapi meroket lalu inflasi yang konsisten penyebab labil berasal dari pangan utamanya beras. Beban rakyat tambah.
Harusnya diurai dari makro ke mikro dan sebaliknya. Konkretnya, kita harus sadar ingat bahwa harga terbentuk karena ” Hukum Pasar “. Jika harga beras, gula dan daging naik. Pertanda tidak seimbang antara permintaan pasar dan daya pasoknya dari sentra produksi ke pasarnya. Ini prinsipnya. Lalu diturunkan dengan penambahan pasokan yaitu impor.
Idealnya jika data BPS valid impor beras hingga di atas 5 juta ton itu artinya kurang produksi beras setara dengan 5 juta ton beras : 2,56 ton beras/musim produktivitas rerata = 2 juta hektar. Solusinya cetak sawah seluas itu. Bukan impor beras lalu dikemas 250 gram/kemasan. Kalau hanya impor dan dikemas kecil – kecil, itu mah lelucon. Dagelan kebijakan makro.
Sapi juga sama impor daging dan sapi hidup saat ini totalnya jika dikalkulasi logis setara dengan 2,5 juta ekor sapi dengan bobot 350 kg/ekor. Setara dengan hasil breeding/pembiakan hasil melahirkan dari indukan sebanyak 6 juta ekor sapi indukan. Karena dengan 6 juta ekor indukan akan beranak 5 juta ekor jantan betina dan 50% nya jantan saja sebanyak 2,5 juta ekor/tahun.
Solusi bijak logisnya perbanyak sapi indukan dari impor dan penyebaran sapi indukan dari sentra sapi Jawa Timur, NTT dan NTB. Jumlahnya setara dengan defisitnya yaitu 6 juta ekor agar anaknya 5 juta ekor jantan betina dan jantan saja siap potong 3 tahun berikutnya 2,5 juta ekor, setara jumlah impornya. Inilah pola pikir causatic, ekonometrika.
Tak ubahnya saya, ada sahabat pesan agar dicetakkan kebun sawit. Dalam mengelola lahan dan membuat jalan maupun jembatan. Saya tidak mau habis waktu dan energi di lapangan terlalu teoritis. Kalau itu hanya jadi ” limbah waktu dan energi ” saja. Lebih praktis adaptif inovasi dengan yang sudah menjalani duluan. Sikap ini penting dan produktif.
Konkretnya, saya tidak mau lagi proses ukuran pakai manual. Harus memakai GPS Laser. Koordinat juga harus berbasiskan satelit agar permeternya valid. Saat validasi luasan, situasi lapangan agar cepat hemat segalanya harus pakai Drone. Mengangkat bibit memakai Dumper segala medan teratasi. Membangun jembatan agar permanen 100 tahun memakai kayu Ulin, non debat kusir.
Belajar dari pengalaman saya sendiri di masa lalu. Saat membuat Pellet Ikan Patin agar harga pokok produksi (HPP) rendah. Hal mutlak harus mandiri. Bahan baku yang berlimpah di sekitar. Ikan afkir dijadikan tepung campuran utama pakan agar protein tinggi. Barulah saya tambah dedak, tapioka dan multimineral maupun vitaminnya dari limbah sawit. Praktis inovatif kompetitif.
Cetak sawah 21 hektar di Jonggol 2009, lahan tandus terlantar cadangan perumahan. Pengalaman masa lalu saya jadikan sumber ilmu hikmah. Multi perlakuan demplot (demontrasi plot). Agar semua plot memberi pesan pada perlakuan tersebut. Sehingga tahu jawaban atas masalah lapangan. Konkretnya ada yang 100% pupuk kimia NPK, ada yang 50% saja sisanya Bio Extrim dan Hormax Hak Kekayaan Intelektual saya.
Alhasil ternyata yang terbaik adalah remediasi. Lahan ditabur pupuk kandang 20 ton/ha, ditabur Dolomit 200 kg/ha. Disemprot Bio Extrim dan Hormax kadar 10% dari air atau 10 liter/hektar. Dibiarkan 2 minggu agar mikroba berbiak. Baru ditanam padi, hasilnya luar biasa jadi 7,8 ton GKP/ha dari 3,5 ton GKP/ha karena C Organik awalnya hanya 1%. Inilah ilmu hikmah inovasi remediasi ala Israel dan Ethiopia.
Jika kawula muda mau adaptif latah baik meniru memakai Bio Extrim Hormax bisa menghubungi langsung Pabriknya David HP. 081219929262 Reni HP. 087781889797
Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Petani Inovatif,
Hari Pangan Sedunia, 2016
HP 081586580630