Mon. Jun 23rd, 2025

Saat ini puncaknya banjir barang impor, utamanya dari RRC. Jika situasi seperti ini salah membuat kebijakan, misal pajak impor dinaikkan ekstrem bisa jadi bumerang. Harus ada kajian mendalam. Efek dominonya luas.

Alkisah. Beberapa tahun silam di rumah saya kumpul beberapa sahabat eksportir kelapa dan produk turunannya. Satu dengan lainnya bukan bersaing justru bersinergi saling melengkapi.

Di antaranya produsen VCO (Virgin Coconut Oil) pihak importir dari RRC mau menampung berapapun jumlahnya, makin banyak makin suka. Dengan harga fiksasi Rp 40.000/kg. Padahal eceran di Apotek Rp 100.000/kemasan 300 ml.

Sahabat lain lagi, total didanai duluan oleh pihak importir dari RRC, jumlah tanpa batas juga. Produknya Cocofiber dan Cocopeat. Sekalipun tahu akan jadi barang bernilai ekonomi tinggi.

Begitu juga sahabat produsen sekaligus eksportir arang briket dan karbon aktif dari tempurung kelapa. Sama persis, butuhnya tanpa batas. Karena oleh orang RRC mau diredistribusikan lagi ke seluruh dunia.

Yang terbanyak eksportir kelapa glondongan. Kalau ini harganya sangat menarik, jauh di atas harga pabrik kelapa di dalam negeri. Di RRC diolah jadi banyak produk turunan dan dipasarkan ke seluruh dunia.

Sejujurnya, waktu itu saya jadi termenung. Karena semua didanai duluan. Total dipercaya. Walaupun harganya sebagian kontrak murah. Tapi yang pasti minta volume sebanyak mungkin dan konsisten rutin.

Sekarang baru saya sadari sekalipun kejadian tersebut sudah berlalu 8 tahun silam. Ternyata strategi menguasai bahan baku jumlah besar harga murah itulah modal utama RRC saat ini makin kompetitif.

Selain bahan baku berlimpah dari Indonesia harga murah. Tapi juga biaya produksinya sangat murah dampak langsung dengan mesin dan metode inovasi kekinian. Ini yang tanpa kita sadari selama ini.

Ujungnya RRC apapun produknya, bahan baku kelapa selalu termurah di dunia. Sekalipun RRC tanpa punya kebun kelapa. Tapi punya mitra usaha Indonesia pemilik kelapa terluas di dunia 3,8 juta hektar.

Dari hanya kelapa saja, RRC dapat nilai tambah ratusan triliun/tahun. Karena belasan miliar butir kelapa Indonesia diekspor ke RRC. Artinya sukses manufaktur kelapa RRC karena manusia Indonesia juga.

Konkretnya segala macam produk jadi wujud serabut asal fiber kelapa. Pembalut wanita dan sejenisnya dari cocopeat Indonesia. Farmasi dan herbal dari buah kelapa Indonesia juga. Kita yang menjadikan RRC hebat.

Saat persaingan pasar global, tentu RRC bisa merajai pasar. Karena harga pokok produksi (HPP) nya murah sekali. Mereka bisa ekspor harga murah bukan ” strategi dumping “. Tapi karena riil inovasi dan dukungan iklim usaha yang baik.

Jika ada pajak impor tinggi sekali. Patut diwaspadai akan jadi bumerang. Misal perang dagang padahal sawit dan kelapa pasar utama Indonesia adalah RRC. Begitu juga masih sangat banyak komoditas lain.

Jika kita sembrono dengan pajak impor tinggi, tanpa mawas diri hal inovasi harus membumi dan iklim usaha yang berpihak ke pelaku usaha. Ada potensi RRC akan membendung impornya jadi masalah kompleks di Indonesia.

Proses saling menahan dan menyerang barang dagangan. Itu sudah perang dagang namanya. Rawan. Jangan main – main, jika tidak mau dimainkan.

Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *