Thu. Apr 24th, 2025

Bagai mentimun sekarung diaduk dengan durian. Yang akan terjadi mentimun bonyok semua dan hancur tidak bernilai lagi. Mengarah habis. Lambat laun baru disadari, sungguh betapa teramat penting keberadaan mentimun tersebut. Tidak cukup kepentingan durian saja yang diwadahi.

Itulah ilustrasinya, jika ekonomi super liberal diterapkan total. Jika semua diserahkan ke pasar bebas global. Yang kaya makin super kaya menggurita dan yang miskin makin miskin dengan jumlah makin banyak. Jika undang – undang tanpa mengayomi dan melindungi yang lemah, makin runyam.

Contoh ;

Selama ini perusahaan milik BUMN PT Berdikari, hanya impor daging sapi dan sapi siap potong. Bulog hanya juara impor daging kerbau. Maka yang jadi korban adalah peternak rakyat, akan tutup massal seperti selama ini. Ribuan peternak kehilangan pekerjaan.

Konkretnya di Kalteng, 2 tahun ini 3 perusahaan peternakan sapi breeding. Belasan ribu ekor. Semua tutup permanen. Sama halnya di Jawa Barat ada beberapa kandang sapi, 1 kandang saja ada kapasitas 36.000 ekor. Saya tanya sebabnya, karena impor daging kerbau ugal – ugalan. Ribuan karyawan di PHK sebagian jadi TKI.

Bagaimana prosesnya ?

Harga sapi Rp 56.000/kg, otomatis harga daging Rp 150.000/kg. Begitu di pasar dihadang dan dihajar dengan daging kerbau impor dari India yang hanya Rp 50.000/kg di negara asal. Harga daging sapi hanya Rp 75.000/kg di negara asal. Maka peternak lokal akan gulung tikar massal.

Artinya tanpa pemberdayaan dan pembinaan masyarakat hulu peternak. Agar berkarya produktif. Hanya mau nyalip di tikungan pada ruas hilir dengan modal dana APBN. Kalau kerjanya BUMN cuma gitu aja. Kata orang Surabaya, ” Akeh tunggale sing iso ngono iku. Sak umbruk sing iso Cak “.

Lalu, apa yang harus dilakukan ?

Kaji ulang. Baca dan analisa data ekonometrika, kenapa selama 10 tahun terakhir makin meroket impor daging, kenapa prevalensi stunting kurang protein hewani, kenapa masih 21,6%. Juara 2 terbanyak di Asean, Juara 5 terbanyak di Dunia. Apa mau dibiarkan impornya yang dulu 1990 an tidak seberapa, saat ini tembus setara 2,1 juta ekor sapi Bali. Atau agar 5 juta ekor sapi impor per tahunnya ?

Bijak logisnya, terdepan jadi Komandan Breeding Sapi. Breeding is leading. Caranya mudah sekali. Tidak usah ikutan impor daging. Tapi fokus impor sapi bakalan. Misal Rp 10 juta/ekor. Target 3 juta/tahun. Lalu dipasarkan ke masyarakat peternak. Syukur jika dapat subsidi seperti pupuk NPK kimia selama ini Rp 30 triliun/tahun.

Jika konsisten bisa impor betina bakalan produktif 3 tahun jadi 9 juta ekor dan sukses dipasarkan ke peternak. Mustahil kalau 4 tahun lagi masih impor sapi dan daging. Mustahil akan banyak stunting. Mustahil akan banyak peternak alih profesi bahkan mustahil berbondong – bondong jadi TKI membangun negara orang lain.

Ini sangat strategis. Prinsip, mengatasi masalah ruas hilir logisnya dari sebab di hulunya. Hanya soal mau atau tidak saja, mengawali berbuat beda agar hasilnya beda dibandingkan selama ini. Rasanya sesekali, perlu kita saat jadi pejabat menempatkan diri kita jadi orang lain. Tat twam asi, kembalikan ke diri sendiri.

Misal ;

1. Punya anak balita takut stunting, tapi harga daging sumber protein makin tidak terjangkau.

2. Jadi karyawan perusahaan peternakan, anak 3 sedang studi, tapi kena PHK akibat dihancurkan kebijakan impor daging.

3. Anaknya kuliah di fakultas kedokteran hewan atau fakultas peternakan, tapi masa depan sub sektor itu suram.

Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *