Sadarkah kita bahwa negara maju hampir selalu di kawasan sub tropis yang tiada punya bahan baku industri hilir. Sebaliknya negara jalan di tempat tetap berkembang selalu di kawasan tropis yang berlimpah bahan baku industri hilirnya. Kecuali Singapura.
Itu semua terjadi karena negara maju sangat cepat adaptif dengan program hilirisasinya. Artinya inovasinya membumi di industri. Bahan baku didatangkan dari banyak negara berkembang yang memiliki bahan baku berlimpah hingga harganya sangat murah meriah.
Diproses industri hilir nuansa inovasi. Lalu dipasarkan lagi ke seluruh dunia. Karena jadi produk langka jadilah mahal, dampak jadi rebutan. Hukum pasar. Nilai tambahnya teramat besar, jadi sebab pendapatan per kapitanya jadi besar. APBN-nya sangat besar juga.
Misal Singapura pendapatan per kapitanya 16 kali lipatnya Indonesia. Begitu juga negara maju lainnya. Bahan baku kekayaan alam di negara lain disedot, diproses oleh para pengusaha inovatifnya. Jadi produk bernilai tinggi. Laba, pajak dan lainnya besar.
Daun mahoni kering di Indonesia berserakan di hutan milik PT Perhutani salah satunya di Banyuwangi Selatan. Tiap bulan puluhan kontainer diekspor ke beberapa negara maju. Dijadikan produk langka, tidak menutup kemungkinan kita impor lagi dengan harga sangat mahal.
Cocofiber dari Lampung, cocopeat dari Banyuwangi maupun Lampung dan air kelapa dari Bandung. Bahan baku industri di negara maju hilirisasinya. Setelah jadi produk langka di antaranya pembalut wanita dan jok mobil lalu kita impor dengan harga mahal. Laba negara maju besar sekali.
Tapi banyak juga yang sebaliknya, bahan baku di negara lain jutaan ton per tahun kita impor lalu diproduksi skala industri di ruas hilir. Jadilah barang langka lalu kita ekspor, nilai tambah besar kita nikmati. Misal gandum jadi mie instan. Rempah jadi bumbu siap seduh. Jambu merah jadi minuman kemasan.
Ada lagi yang bahan bakunya di Indonesia berlimpah ruah hingga murah. Dihilirisasi di Indonesia. Misal bungkil sawit, limbah pabrik kelapa sawit. Total produksi bungkil sawit sekitar 9 juta ton/tahun. Asalnya 3% dari tandan buah segar (TBS) 260 juta ton/tahun. Ini nilai tambah labanya besar.
Harga pokok produksi (HPP) hanya Rp 2.300/kg meliputi bungkil Rp 1.800/kg. Plus tapioka dan pelletisasi. Dijual dengan harga Rp 3.300/kg. Laba Rp 1.000/kg. Ini laris manis di dalam negeri sampai jutaan ton diekspor. Persis jualan kacang goreng. Karena mutu sesuai SNI uji proksimatnya.
Sudah… deeh. Cuma gitu saja. Paling lama 2 tahun sudah kembali modal (ROI). Banyak sahabat saya yang ” leading ” dadakan bisnisnya. Karena mentalnya mau inovatif. Merekrut banyak pengangguran jadi produktif dan sejahtera. Jadi insan bermanfaat nyata bagi orang lain, calon legendaris. Dikenang indah.
Kawula muda. Hanya mau atau tidak memulai ? Atau hanya puas dengan hanya ” omon – omon doang “, mengeluh dan menyalahkan keadaan. Saran saya, mulai ikut menyibak tirai jendela jika dirasa gelap dan pengap. Tiada guna mengutuki orang lain dan keadaan tiap hari. Berbuat dan berbuat.
Salam Inovasi 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630