Bonus demografi Indonesia adalah modal utama pertama bagi pemimpin Indonesia mendatang. Ditambah lagi kekayaan alam berlimpah, pasar sangat besar yaitu jumlah penduduk 273,8 juta jiwa dan banyak hasil riset yang tersimpan di lemari hingga 88% dari total invensi, karena baru 12% yang jadi inovasi membumi.
Sehingga daya saing Indonesia meningkat dari peringkat ke 44 jadi 34 . Karena jor – joran membangun infrastruktur jalan tol, pelabuhan, bandara, pasar dan lainnya. Hingga indeks inovasi global juga naik dari peringkat 85 ke 75 dari 132 negara. Sehingga biaya logistik Indonesia naik peringkat dari 23% ke 14,29% dari BDB.
Semua di atas adalah bagian dari iklim usaha. Tetap rohnya adalah pelaku usaha. Terbaik lagi pelaku usahanya bukan impor (PMA) tapi pengusaha putra bangsa sebagai investornya, agar tidak terjadi kapital terbang laba yang didapatkannya. Dengan begitu rasio gini tertekan, saat pendapatan per kapita naik. Adil, makmur, sejahtera terwujud.
Agar menyerap pengangguran besar – besaran yang saat ini 7,99 juta. Lalu kemiskinan 25,9 juta, terkurangi karena yang menganggur produktif. Produk Domestik Bruto (PDB) juga naik paralel yang saat ini sekitar Rp 22.000 triliun. Sesungguhnya sangat banyak sekali peluang bisnis agro industri hilir inovatif di Indonesia. Di antaranya ;
- Tandan Kosong Sawit (Tankos).
Potensinya 244 juta ton TBS/tahun rendemen 23% setara 56 juta ton Tankos. Bisa jadi helm, geomembran dari pada selama ini impor besar – besaran. Jika dihargai Rp 3.000/kg saja barang jadi, maka omzetnya setara Rp 160 triliun/tahun. Bisa jadi penampung pengangguran ratusan ribu orang menganggur berubah jadi sejahtera karena produktif, dikaryakan.
- Bungkil Sawit.
Potensinya 244 juta ton TBS/tahun rendemen 3%, setara 7,3 juta ton/tahun. Selama ini hanya diekspor jutaan ton jadi pakan ternak ke Selandia Baru, Australia dan lainnya. Padahal cukup ditambah tapioka 5% jadi pellet super. Harga jual Rp 4.000/kg. Setara Rp 29 triliun/tahun. Harga pokok produksi (HPP) tidak lebih Rp 2.200/kg. Implikasinya pajak dan devisa ngeri sekali.
- Kelapa.
Kita ekspor kelapa bahan baku industri kelapa di RRC, Vietnam, Singapura, Malaysia dan Thailand. Setara belasan miliar butir/tahun. Jika pengusaha terangsang nol pajak setahun pertama agar ada proses industrialisasi. Air kelapa jadi nata de coco. Sisanya laba Rp 10.000/butir saja. Nilai tambahnya di atas Rp 100 triliun/tahun. Para peneliti happy karena hasil penelitiannya membumi di industri.
- Sapi
Selama ini di NTT, NTB dan Jatim volume produksi melampaui kebutuhan. Dampaknya banyak sapi betina dipotong karena jenuh pasar. Kalimantan sapi teramat mahal karena kekurangan indukan 243.000 ekor lagi. Dampaknya daging mahal. Kalimantan jadikan sentra sapi cipta lapangan kerja ribuan KK. Permudah masuknya sapi betina. Impor indukan 5 juta ekor, 3 tahun lagi swasembada, tanpa menguras devisa Rp 63 triliun/tahun rutin.
- Ikan Tawar.
Banyak pabrik pengalengan ikan di Muncar Banyuwangi yang tutup akibat kurang bahan baku, hingga banyak impor. Begitu juga pabrik fillet ikan kurang bahan baku. Lahan yang agroklimatnya pas buat ikan sangat luas, jika 1 ha lahan dijadikan kolam budidaya ikan modal maksimal Rp 800 juta, mininal omzet bisa Rp 4 miliar/tahun. Bisa mendongkrak kesejahteraan rakyat. Solusinya alokasi APBN, pemberdayaan masyarakat.
Tentu masih sangat banyak sekali peluang usaha industrialisasi agro nuansa hilirisasi inovasi membumi. Agar dapat nilai tambah berkali lipatnya dibanding ekspor bahan baku seperti selama ini. Begitu juga impor pangan di atas Rp 330 triliun/tahun sesungguhnya peluang emas bagi masyarakat pedesaan asal politik berpihak kepada masyarakat desa.
Caranya replikasikan pebisnis yang ada, bangun iklim usaha dan iklim hilirisasi inovasinya. Banyak kisah negara tandus di sub tropis tanpa punya banyak bahan baku industri tapi jadi negara maju, sebaliknya banyak negara tropis bahan baku berlimpah tapi pendapatan per kapita rendah karena SDM nya minim yang jadi pebisnis industri hilir inovatif.
Salam Bangkit 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630