Data BPS, jumlah pengangguran terbuka 7,99 juta. Komposisi lulusan perguruan tinggi makin mendominasi hingga 13,3%. Jumlah TKI legal maupun ilegal 9 juta (Kemenlu). Sesungguhnya ini semua hanyalah akibat saja, sekali lagi hanya akibat saja. Juga akan punya akibat lebih lanjut lagi yang kontra produktif.
- Sebab pengangguran.
Pengangguran terjadi karena kurangnya lapangan kerja yang tersedia. Kurangnya jumlah kecocokan antara lapangan kerja tersedia dengan jumlah spesifikasi para pencari kerja, ini masih sangat banyak. Misal, perusahaan besar milik BUMN kurang tenaga kerja 50-an orang, tapi dari ribuan yang melamar tidak ada yang pas.
Pengangguran terjadi juga bisa karena PHK, bukan karena baru lulus pendidikan semata. Konkretnya selama setahun ini saja korban PHK sekitar 256.000 orang. Dampak dari perusahaan tempat mereka kerja ditutup. Kalah bersaing, krisis global negara barat pengimpor produk pabrik tersebut dan mekanisasi robotik pada pabrik.
Misal, perusahaan A biasanya mengkaryakan 1.000 orang. Produknya diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat. Tapi karena mereka negara pengimpor daya belinya jatuh, lalu tidak impor lagi. Otomatis pemasaran perusahaan di Indonesia sebagai eksportir cashflownya terganggu. Tutup, terjadi PHK massal.
Contoh lain lagi, perusahaan B mengkaryakan 1.000 orang juga. Karena pangan naik maka upah naik juga, lalu harga pokok produksi (HPP) naik juga. Produk tidak kompetitif di pasar global. Lalu diganti dengan mekanisasi, teknologi baru digital dan robotik. PHK massal karena kalah bersaing.
- Dampak pengangguran.
Dampak pengangguran sangat besar sekali, baik moril maupun materiilnya. Jumlah pengangguran sebuah bangsa makin banyak maka makin lemah, terancam dan makin tidak punya daya saing. Bahkan bisa jadi sumber terganggunya stabilitas nasional. Konkretnya, makin banyak pengangguran makin menggunjingkan pimpinan dan kejahatan meningkat.
Kalkulasi logisnya secara materiil, hilangnya kesempatan. Jika pengangguran saat ini dibulatkan maka 8 jutaan. Pendapatan per kapita saat ini Rp 72 juta/orang/tahun. Karena pengangguran maka hilang kesempatan dana beredar di masyarakat, 8 juta x Rp 72 juta = Rp 576 triliun/tahun. Mestinya jadi pendapatan dan belanja lagi.
Implikasinya, dana Rp 576 triliun yang mestinya terdistribusikan ke 8 juta orang tersebut bisa untuk belanja pangan, sandang dan papan. Otomatis toko warung penjual bahan pangan beras dan lainnya juga dapat omzet, berlanjut belanja ke petani dan petani belanja pupuk serta sarana lainnya. Begitu seterusnya peluang usaha dan transaksi kekal, bagai bom atom.
Begitu juga dari Rp 576 triliun tersebut ke 8 juta pengangguran. Bisa untuk angsuran KPR rumah, yang berakibat pengembang properti dapat omzet lalu produksi lagi mengkaryakan para tukang dan belanja semen maupun bahan bangunan lainnya jadi omzet juga. Perbankan juga dapat omzet dari penyaluran kreditnya, uang yang ditabung masyarakat.
Solusinya ?
Pemerintah harus menyadari betul bahwa iklim usaha sangat besar pengaruhnya terhadap daya rangsang anak muda gemar usaha dan ekspansi. Pembangunan manusia berjiwa pengusaha sangat penting agar berani usaha dan ekspansi. Hilirisasi inovasi hal mutlak agar kompetitif lagi. Sebagai cara membangun daya saing. Jika itu terbentuk maka akan tercipta lapangan kerja yang banyak, meniadakan pengangguran.
Konkret kalkulasinya, jika dari 8 juta pengangguran saat ini hanya 1 juta saja pengusaha baru. Lalu tiap pengusaha merekrut 20 orang saja. Maka total butuhnya 1 juta pengusaha baru x 20 orang = 20 juta terserap. Otomatis tiada lagi pengangguran dan TKI lagi. Sebaliknya, jika ada investasi ” dipersulit birokrasi ” maka tidak tercipta lapangan kerja, pengangguran tetap banyak.
Implikasinya, 8 juta pengangguran tanpa pendapatan. Praktis biaya hidupnya numpang kepada yang produktif. Konsekuensi logisnya, daya beli kolektifnya rendah. Mutu pangan yang dibeli kurang baik. Stunting tidak bisa diminimalkan hingga ideal 5%. Pada saat ini masih 21,4% walaupun 10 tahun silam 34%. Stunting di Indonesia terbanyak ke 5 se-Dunia dan terbanyak ke 2 se-Asean.
Artinya 20 tahun lagi, remaja Indonesia pada usia 25 tahun dari 300 juta ada 21% nya atau setara 63 juta kerdil dan kurang nyambung cara berpikirnya, ini akibat retardasi kecerdasan dampak dari kurang protein hewani utamanya, lalu non kompetitif. Kolektifnya, daya saing Bangsa Indonesia juga rendah. Itulah peran pentingnya bagi kawula muda yang mau jadi pengusaha cipta lapangan kerja, nol kan pengangguran.
Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630