Tue. Feb 4th, 2025

Tahun 1990 an. Pada sebuah diklat perusahaan besar multinasional. Mendatangkan pembicara sungguh punya kualitas tinggi. Topiknya ” Pertumbuhan Pola Pikir “. Menyenangkan sekali. Sangat mencerahkan, kaya asupan gizi cara berpikir produktif untuk konsisten menjaga produktivitas perorangan maupun dalam kelompok organisasi.

Diajarkan sungguh betapa sangat besar daya manfaat dari berpikir. Tapi pola pikir pada hakikatnya punya segmentasi bagai anak tangga. Ada orang atau kelompok masyarakat hanya berkutat pada segementasi anak tangga itu – itu saja dari tahun ke tahun. Alhasil tiada perubahan hasil bermakna. Karena dilihatnya hanya dengan kacamata mikro di bawah saja. Seolah semua bermasalah tanpa solusi.

Tapi banyak juga yang pola pikirnya tumbuh terus dari anak tangga satu ke dua dan seterusnya naik ke puncak. Implikasinya sangat besar makin dewasa matang karena daya jangkau pemandangan pola pikirnya yaitu makin luas. Tapi tetap tahu segmen anak tangga di bawahnya, yang pernah dilalui. Artinya mudah mencari solusi terhadap masalah di bawah karena pernah dilalui dan mudah pula mengatasi masalah di atas karena wawasannya luas.

Contoh.

Masyarakat hidup di pangkal pegunungan yang pasti akan banyak air mengalir sepanjang tahun. Tapi karena hukum warisan maka indeks kepemilikan lahan makin sempit hingga 0,3 ha/KK . Tiada mau lagi menanam yang nilai kapitalnya tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Memberdayakan potensi kekayaan alam dari multi aspeknya. Bukan monoton itu – itu saja, yang selama ini belum bisa mengangkat derajat kehidupan ekonominya.

Segmentasi pola pikirnya dinaikkan ke atas lagi lebih luas cara pandangnya. Mencari komoditas yang cashflownya bisa berkali lipatnya dari yang biasanya diberdayakannya. Alhasil jadi masyarakat yang madani terdepan dalam mendongkrak pendapatan per kapitanya. Adanya penuh syukur dan bangga hidup di kampungnya, yang pendapatannya tidak kalah dibandingkan orang lain yang merantau di kota maupun di luar negeri (TKI).

Konkretnya, riset pasar ternyata banyak komoditas yang biasanya dihasilkan di pangkal gunung. Tapi selama ini banyak impor. Misal hortikultura, buah tropis, rimpang, rempah dan ikan tawar. Bahkan di Arab Saudi yang peserta Haji dan Umroh terbanyak dari Indonesia pun, minta pasokan fillet ikan patin belum bisa kita penuhi. Lalu memberdayakan dirinya, memberdayakan kekayaan alamnya yang pas dan mengisi potensi pasarnya yang besar.

Begitu juga rempah dan rimpang group, selama ini masih sangat banyak impor dari Vietnam untuk kebutuhan industri agro hilir inovatif. Tidak disia – siakannya. Juga dikembangkan yang sesuai antara keterampilan masyarakat dan potensi alam serta potensi pasarnya. Karena tidak mau kehilangan nilai tambah yang biasanya terbesar di hilir, maka membangun industrinya. Dengan cara kebersamaan dengan bersama – sama, apapun namannya. Yang penting nyatanya.

Implikasinya, serapan kebutuhan tenaga banyak sekali. Pengangguran turun drastis. Karena tidak lagi menganggur. Sudah berkarya maka punya pendapatan sehat, baik jadi karyawan maupun mitra usaha supplier misalnya. Karena berkarya, otomatis tanpa banyak keluhan, adanya sehat bugar bahagia dan produktif. Hidup tanpa menggantungkan dari pendapatan orang lain.

Karena pendapatannya mumpuni maka berani KPR rumah dan leasing kendaraan 60% dari pendapatannya. Tiada terasa punya rumah dan kendaraan. Praktis penjual beras, gula, kendaraan, rumah dan lainnya dapat rejeki turunannya. Inilah rantai ekonomi riil pada masyarakat menumbuhkan ekonomi makro nasional. Karena ada perubahan segmentasi pola pikirnya ” ada pertumbuhan “, selalu jeli menumukan masalah masyarakat tapi juga menemukan solusi terukurnya.

Salam 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *